Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Japan External Trade Organization (JETRO) merilis survei terbarunya mengenai Kondisi Bisnis Perusahaan Jepang di Asia dan Oceania. Dari survei yang dilakukan 26 Agustus - 24 September 2019 lalu dengan melibatkan 13.458 perusahaan responden.
Di Indonesia sendiri survei dilakukan terhadap 1.726 perusahaan Jepang yang didapati 614 jawaban valid. Dari temuan tersebut, sebanyak 55,8% perusahaan Jepang tak puas dengan produktivitas tenaga kerja Indonesia bila dibandingkan dengan upah minimum yang dibayarkan.
Baca Juga: Kemenaker: Sebanyak 48,5% PMI bekerja di sektor formal di 2019
Bahkan tingkat ketidakpuasan tersebut jauh lebih tinggi dari rerata negara-negara Asia Tenggara yang hanya 30,6%. Bahkan tingkat ketidakpuasan Kamboja masih di atas Indonesia dengan 54,6%. Isu upah minimum serta produktivitas pekerja Indonesia memang menjadi hal yang memberatkan perusahaan Jepang.
"Sejak 2015 sampai 2019 kenaikan upah di Indonesia di sektor manufaktur mencapai US$ 98 sedangkan Vietnam hanya US$ 51," ujar Wataru Ueno, Senior Director JETRO, Selasa (11/2)
Pasalnya, dengan upah yang naik nyatanya tingkat produktivitas Indonesia hanya 74,4% dibandingkan Vietnam yang mencapai 80%. Bahkan Indonesia berada di urutan tiga terbawah dalam hal produktivitas kerja di antara negara-negara ASEAN.
Baca Juga: Muluskan omnibus law, pemerintah siapkan pemanis berupa bonus gaji
Oleh karena itu sebanyak 71,4% perusahaan Jepang berharap pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo bisa melakukan pengendalian upah minimum. 70,3% berharap sistem bisnis yang transparan dan dapat diprediksi 55,1% pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Keishi Suzuki, Presiden Direktur JETRO Jakarta Office menyebutkan per tahun lalu investasi Jepang di Indonesia mencapai US$ 4,3 miliar. Kucuran tersebut menempatkan Jepang menjadi investor ketiga terbesar di tanah air.
Namun dirinya berharap jumlah tersebut akan meningkat lagi ke depannya. Saat ini investasi Jepang ke Indonesia mulai bergeser dari industri manufaktur di sektor otomotif ke arah pembangkit listrik, properti dan sektor non manufacturing lainnya.
Baca Juga: Kemnaker sebut pesangon dan jaminan sosial tidak akan hilang dalam omnibus law
"Ini berkaitan dengan SDM di Indonesia dan untuk manufaktur saat ini semakin sulit karena kenaikan UMR di Indonesia menjadi masalah sehingga (investasi) di non manufaktur bertambah," ujarnya.
Sebanyak 88,5% perusahaan Jepang di Indonesia juga berharap perlunya kebijakan fasilitasi perdagangan. Dari jumlah perusahaan yang memerlukan fasilitasi perdagangan, sebanyak 53,6% perusahaan ingin adanya peningkatan informasi tentang sistem dan prosedur perdagangan.
Selain itu ada 44% perusahaan menginginkan pemahaman yang sama soal evaluasi klasifikasi tarif, 43,4% mengenai sistem administrasi yang lebih maju dan 41,4% percepatan dan penyederhanaan prosedur izin impor.
"Indonesia masih sangat menarik, karena pangsa pasar dan potensi pertumbuhannya sangat tinggi. Jadi perusahaan Jepang ingin lingkungan bisnisnya membaik untuk bisa membangun market yang besar ini," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News