Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mempertanyakan kebijakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor migas yang menjual gasnya dengan menggunakan kurs dollar. Padahal, pemerintah sudah mewajibkan penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi di dalam negeri.
Hendrata Atmoko, Ketua Dewan Penasihat Asaki menyebut perusahaan BUMN yang di maksud adalah PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas).
"Saya bingung ini kenapa Pertagas dan PGN masih jual gas ke industri ini pakai dollar. Kemarin kan diminta pakai rupiah?," ujar Hendrata kepada KONTAN, Jumat (4/9).
Saat ini industri keramik menggunakan bahan bakar gas untuk memproduksi keramik. "Kami beli gas untuk bahan baku pembakaran dalam proses produksi, dan itu pakai dollar, sekarang dollarnya lagi naik," keluhnya.
Saat ini porsi biaya bahan bakar gas adalah sekitar 30% dari beban produksi industri keramik. "Kami beli gas pakai dollar, sedangkan menjual keramik pakai rupiah. Ini ada potensi rugi kurs," katanya.
Selain harus membeli menggunakan kurs dollar, Asaki juga mengeluhkan mahalnya harga gas yang dipatok oleh kedua perusahaan BUMN tersebut dibandingkan dengan harga gas negara-negara tetangga.
"Harga gas di Indonesia di kisaran US$ 9,7 per MMBTU. Sedangkan di Malaysia dan Singapura berkisar US$ 5-6 per MMBTU. Ini gimana kita mau bisa kompetitif, dari segi energi saja sudah lebih mahal," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News