Reporter: Nurmayanti | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Jumlah produk lokal yang wajib diserap proyek pemerintah bertambah dari 470 produk menjadi 558 produk dalam 21 kelompok barang dan jasa. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 49/2009.
Permenperin yang ditandatangani Menteri Perindustrian Fahmi Idris pada 12 Mei 2009 lalu itu baru berlaku efektif mulai 12 Agustus 2009. Permenperin ini melengkapi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2/2009 tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Selain menambah jumlah produk yang wajib diserap, lewat Permenperin itu pemerintah juga menegaskan soal sanksi. “Anggaran kementerian lembaga yang tidak menaati aturan ini tahun depan akan dikurangi. Dan pejabat yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi sesuai PP No 30/1990 tentang disiplin pegawai,” kata Fahmi Idris, Selasa (26/5).
PP No 30/1990 mengatur, tiap pegawai yang tak menaati peraturan pemerintah akan dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Tak hanya si pejabat yang dikenai sanksi. Penyedia barang dan jasanya pun akan dimasukkan dalam daftar hitam. Jika produk dan jasa yang mereka tawarkan terbukti bukan produk lokal, ini akan menjadi catatan dalam pengadaan proyek-proyek pemerintah berikutnya
Fahmi optimistis beleid yang diterbitkan instansinya itu akan berjalan efektif. Sebab, selain mengancam dengan sanksi, ia juga sudah membentuk tim khusus pemantau pelaksanaan P3DN.
Tim tersebut tersebar di setiap instansi. Mulai dari kantor kementrian, satuan kerja perangkat daerah, Bank Indonesia, BHMN, BUMN/BUMD, hingga Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di industri migas. Untuk verifikasi, Depperin melibatkan surveyor.
Ketua Umum Asosiasi Perlampuan Indonesia (Aperlindo) John Manoppo mempertanyakan penentuan produk lokal yang tertuang dalam Permenperin. Produk lampu misalnya, hanya untuk 28 watt saja. Padahal, banyak lampu di atas 28 watt yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tinggi. “Hal ini bisa menimbulkan kontroversi lagi,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News