Reporter: Muhammad Julian | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berambisi meningkatkan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional. Ambisi ini misalnya tercermin pada rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN tahun 2021-2030 yang mencanangkan porsi EBT sebanyak 51,6% atau setara atau 20.923 MW dalam rencana pembangkit baru pada periode ini.
Meski begitu, jalan menuju target yang telah dicanangkan bukannya bebas hambatan. Sejumlah tantangan masih dijumpai.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) Priyandaru Effendi mengatakan, tantangan investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terletak pada peraturan yang belum mendukung daya tarik investasi panas bumi serta keekonomian proyek.
Keekonomian proyek itu, menurut Priyandaru, tidak diukur berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP), namun berdasarkan tingkat risiko proyek PLTP.
“Kita menginginkan harga jual listrik panas bumi berdasarkan keekonomian proyek. Dibutuhkan kehadiran pemerintah dalam penyelesaian tantangan pengembangan panas bumi sehingga tidak bisa diserahkan penyelesaiannya berdasarkan B to B,” ujar Priyandaru kepada Kontan.co.id (5/11).
Baca Juga: Permen ESDM PLTS Atap masih mandeg, kepastian usaha dan persepsi investor terpengaruh
Dalam catatan Priyandaru, investasi proyek PLTP umumnya berkisar US$ 5 juta per megawatt (MW). Lama pengembalian modalnya (tanpa financing) berkisar 9 tahun-10 tahun.
Priyandaru tidak merinci berapa rentang kisaran harga jual listrik yang ia anggap sesuai dengan keekonomian proyek-proyek PLTP. Yang terang, menurutnya idealnya proyek PLTP memiliki tingkat pengembalian investasi alias internal rate of return (IRR)14%.
“Threshold kita adalah IRR project sebesar 14%,” tutur Priyandaru.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Riza Husni menilai bahwa keekonomian proyek-proyek pembangkit listrik tenaga hidro sudah cukup baik, diukur dari segi harga maupun biaya pokok produksi.
Meski begitu, Riza menilai bahwa tingkat keekonomian proyek-proyek pembangkit listrik tenaga hidro bisa menjadi lebih baik lagi jika durasi masa kontrak perjanjian jual beli listrik untuk proyek pembangkit listrik tenaga hidro bisa diperpanjang hingga 30-40 tahun.
Selain mendorong keekonomian yang lebih baik, hal ini juga ia yakini dapat memberi kepastian bagi para investor.
“Semakin lama kontrak semakin tingkat kepastiannya itu semakin baik,” kata Riza.
Menurut catatan Riza, investasi proyek pembangkit listrik tenaga mini hidro berkisar US$ 2 juta - 2,5 juta per MW. Untuk pembangkit listrik hidro berkapasitas besar, biaya investasinya bisa lebih murah lagi.
Regulasi pendukung EBT
Saat ini, pemerintah tengah mengawal sejumlah regulasi anyar guna mendukung penggunaan EBT sebagai sumber energi. Beberapa di antaranya meliputi Peraturan Presiden tentang pembelian tenaga listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Peraturan Menteri dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Sebagaimana namanya, Perpres EBT mengatur tentang pembelian tenaga EBT PLN. Sementara itu, Permen PLTS Atap mengatur sejumlah hal, termasuk di antaranya skema tarif ekspor-impor listrik net-metering. Pada aturan sebelumnya, yakni Permen ESDM Nomor 49/2018, ketentuan tarif net-metering ditentukan sebesar 0,65:1.
Dengan ketentuan itu, konsumen yang mengkonsumsi alias mengimpor listrik dari PLN akan dikenakan tarifnya adalah X per kWh, sementara ekspor listrik dari pengguna PLTS atap ke PLN dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 0,65 alias 65%.
Baca Juga: Dorong pengembangan EBT hingga 2024, Pertamina alokasikan anggaran US$ 8,3 miliar
Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan nilai kWh ekspor. Dengan adanya aturan anyar PLTS atap berikut skema ketentuan net metering ekspor-impor 1:1, PLN wajib membeli listrik pelanggan dengan harga penuh alias 100% dari tarif.
“Perpres EBT masih dalam koordinasi finalisasi dengan KemenKeu terkait dengan potensi dampak terhadap APBN. Hal yang sama juga untuk PLTS Atap,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana kepada Kontan.co.id (5/11).
Sedikit informasi, hingga September 2021, total kapasitas pembangkit EBT terpasang di Indonesia mencapai 10.888 MW atau setara sekitar 15% dari total kapasitas pembangkit nasional yang berjumlah 73.688 MW pada September 2021.
Secara terperinci, total kapasitas terpasang 10.888 MW ini terdiri atas pembangkit berbasis energi air sekitar 6.432 MW, panas bumi sekitar 2.186 MW, bioenergi sekitar 1.923 MW, surya sekitar 190 MW, bayu sekitar 154 MW, dan hybrid sekitar 0,4 MW.
Selanjutnya: Adaro Energy (ADRO) gencar jajaki pembangkit hijau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News