kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kapasitas Terpasang Industri Perikanan Masih Rendah


Senin, 09 Agustus 2010 / 11:14 WIB
Kapasitas Terpasang Industri Perikanan Masih Rendah


Reporter: Asnil Bambani Amri |

JAKARTA. Direktorat Pengolahan Pemasarahan Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan rendahnya kapasitas terpasang industri pengolahan perikanan di dalam negeri.

"Kapasitas terpasang industri perikanan itu hanya 59,3%," kata Martani Huseini, Dirjen P2HP di Jakarta, Senin (9/8).

Martani menyebutkan, pihaknya sudah mendapatkan laporan adanya industri pengolahan ikan yang sudah menghentikan operasinya akibat kesulitan bahan baku. "Bahan baku menjadi masalah karena tidak efisiennya operasi pengolahan ikan termasuk juga sumber daya manusianya," jelas Martani.

Menurut Martani, industri perikanan tangkap tidak mau menjual hasil tangkapannya pada industri dalam negeri dengan alasan daya beli lemah atau harganya rendah. Sementara itu, dari segi budidaya, pasokan juga turun karena banyak produksi mengalami banyak masalah.

"Ada kelemahan manajemen daya pasok yang terjadi pada industri perikanan kita," kata Martani. Lemahnya manajemen pasokan ikan itu membuat industri pengolahan megap-megap.

Meski penyebabnya sama, namun angka kapasitas terpasang industri perikanan yang disebutkan KKP tersebut berbeda dengan angka yang dicatat oleh Asosiasi Pengusaha dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I). Thomas Darmawan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) mengatakan, kapasitas produksi industri saat ini hanya mencapai 40%.

"Masalah kami bukan pasar yang hilang tapi masalahnya bahan baku yang diolah tidak ada," kata Thomas.

Menurut Thomas, walaupun bahan baku seperti udang di dalam negeri masih berproduksi namun harganya tidak kompetitif lagi bagi para pelaku industri karena harganya sudah terlalu mahal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×