kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Keamanan Konsumen, standardisasi dibutuhkan untuk industri vape Indonesia


Selasa, 01 Desember 2020 / 08:10 WIB
Keamanan Konsumen, standardisasi dibutuhkan untuk industri vape Indonesia


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan industri rokok elektronik (vape) di Indonesia berkembang pesat. Sebagai industri yang baru berkembang beberapa tahun terakhir, produk yang dikategorikan sebagai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) ini telah memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia.

Saat ini, diperkirakan pengguna produk HPTL di Indonesia sudah lebih dari 2 juta orang. Mayoritas pelaku industri HPTL merupakan industri kecil dan menengah (IKM).

Kementerian Perindustrian telah menyatakan komitmennya untuk membahas SNI vape pada 2021. Direktur Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menilai standardisasi untuk produk rokok vape sangat diperlukan oleh industri vape di Indonesia, agar konsumen lebih aman dan nyaman dalam menggunakan vape.

Namun sempat muncul kekhawatiran dari beberapa produsen liquid vape di Indonesia mengenai hal tersebut.

Beberapa produsen khawatir jika nantinya standarisasi (SNI) diterapkan malahan akan memberatkan bagi sebagian produsen, dan konsumen.

Baca Juga: Bagian barang dalam rokok elektrik juga dikenai cukai

"SNI sudah pasti akan menambah beban biaya dan akan membebani harga jualnya. Di tingkat konsumen juga pasti lebih mahal," ujar Ketua Asosiasi Vapers Indonesia (AVI) Johan Sumantri dalam keterangannya, Senin (30/11).

Pemberitaan negatif mengenai produk masih bisa terlihat beredar di media karena beberapa kejadian di masa lalu. Contohnya, di tahun 2016 dilaporkan seorang vaper di Jawa Barat harus dilarikan ke rumah sakit setelah perangkat vape miliknya meledak.

Selain itu, beberapa kontroversi terkait rokok elektrik juga terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, di mana kurangnya standar rokok elektrik mengakibatkan banyaknya produk rokok elektrik yang tidak diatur di pasaran sehingga menimbulkan beberapa insiden.

Namun, sebaliknya, negara-negara yang telah menyadari perlunya standar rokok elektrik telah berhasil memastikan hanya bahan dan komponen berkualitas tinggi yang digunakan untuk pembuatan rokok elektrik ini.

Negara-negara seperti Selandia Baru, Kanada, Rusia, serta semua negara anggota Uni Eropa saat ini memiliki aturan yang memastikan adanya standar minimum yang harus dipenuhi oleh produsen. Ini tidak hanya mengatur standar kemurnian e-liquid tetapi juga keamanan dan keandalan baterai.

Johan Sumantri mengaku produk elektronik bisa jadi ada kekeliruan dan gagal fungsi. Terkadang terdapat pods yang kualitasnya kurang baik, sehingga selain cepat rusak juga akan membahayakan konsumen ketika digunakan.

Dia menambahkan, AVI sangat mendukung rencana pemerintah melalui BSN dan Kementerian Perindustrian untuk segera menerbitkan standardisasi nasional terkait vape pada tahun 2021 bersifat sukarela.

"Sebagai perwakilan konsumen kami mendukung langkah strategis pemerintah untuk mengeluarkan standardisasi tahun depan. Tapi sebagai produsen saya khawatir harga jualnya lebih mahal. Kami berharap penyusunan standardisasi ini bisa melibatkan produsen dan konsumen vape Indonesia," ujarnya.

Dalam wawancaranya yang berbeda, salah satu produsen rokok elektrik internasional, RELX Technology, diwakili oleh General Manager RELX Indonesia, Jonathan Ng, mengatakan bahwa perusahaan vape harus memiliki standar yang tinggi sebagai bentuk tanggung jawab kepada konsumen.

Baca Juga: Baru tumbuh, industri HPTL perlu dukungan pemerintah

"Produsen harus memastikan bahwa mereka melakukan yang terbaik dalam memastikan bahwa e-liquid dan perangkat dibuat, diuji, dan dapat diandalkan dengan baik untuk penggunaan konsumen," katanya.

Menurut Jonathan, produk RELX tidak hanya diproduksi di bawah kendali kualitas yang ketat dan diuji menggunakan standar Eropa dan yang diterima secara internasional, tetapi juga bersertifikat RoHS, bersertifikat CE, bersertifikat CB, dan memiliki emisi uap yang sesuai dengan standar AFNOR XP D90-300 3 Prancis. .

Seiring dengan minat konsumen Indonesia untuk mencari produk vaping berkualitas tinggi, Jonathan juga mengingatkan konsumen untuk lebih berhati-hati dalam membeli produknya karena saat ini beredar pula produk palsu yang tidak diproduksi dengan benar sehingga berisiko menimbulkan banyak masalah bagi pengguna.

“Pod palsu atau generik sangat berisiko karena bahannya biasanya berkualitas buruk dan tidak menjalani pemeriksaan kualitas apa pun. Baterai juga tidak dibuat dengan benar dan dapat dengan mudah meledak atau terbakar, sedangkan cairannya mengandung bahan kimia berbahaya. Pod nya mudah bocor, dan jumlah nikotinnya tidak sesuai dengan yang tertera di kemasan. Itu tidak sebanding dengan risikonya, ”tutupnya.

Baca Juga: Bea Cukai optimistis capai target penerimaan cukai rokok Rp 173 triliun pada 2021

Semakin banyak konsumen di Indonesia memilih untuk beralih ke perangkat vape selama beberapa tahun terakhir karena mereka berusaha beralih ke alternatif.

Industri vape juga telah mendengar permintaan dari konsumen kepada pemerintah untuk memperkenalkan standar yang akan memprofesionalkan industri vape dan secara umum juga mengangkat standar untuk semua produk yang dibeli konsumen.

Adanya standarisasi diharapkan akan memberikan rasa tenang saat konsumen memilih untuk beralih ke produk vape.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×