Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional tahun 2020 baru mencapai 11,31%, atau baru separuh dari target 23% di tahun 2025. Untuk itu, diperlukan strategi dan dukungan seluruh pihak untuk dapat mewujudkan target ini khususnya di tengah kondisi surplus listrik.
Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menjelaskan melihat dari excess supply kuncinya di perencanaan bisnis jangka panjang.
Jadi kalau minimal sekarang yang akan segera terbit adalah RUPTL 2021-2030 yang akan meningkatkan porsi pembangkit listrik berbasis EBT menjadi 20 GW selama 10 tahun ke depan untuk yang basisnya on grid.
"Rencananya, akan ada basis off grid yang atau tidak masuk ke jaringan PLN. Selain itu, juga ada skema power wheeling yang saat ini sedang dilakukan kajian," jelas Dadan di Press Conference The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan virtual, Senin (20/9).
Baca Juga: Untuk jangka panjang, investasi EBT di tanah air butuh biaya jumbo
Dadan bilang skema power wheeling ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik, namun skema ini belum bisa berjalan.
"Kami pelajari, dan mencari cara jalannya seperti apa dan sedang dilakukan kajian oleh ITB dan UGM untuk hal tersebut," ujar Dadan.
Direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa membenarkan bahwa saat ini masih terjadi oversupply listrik di Jawa dan Sumatera.
Namun kalau melihat laporan PLN di semester I 2021, penjualan listrik sebesar 4,89% pada semester I 2021 yang diharapkan pada paruh kedua tahun ini pertumbuhannya bisa sama.
Sehingga diharapkan, secara keseluruhan konsumsi listrik di tahun ini bisa tumbuh 4,7% sehingga dapat menekan over capacity.
"Dalam kondisi oversupply ini, solusi dengan PLTS Atap akan cukup efektif," ujarnya.
Menurut hitung-hitungan IESR, untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% di 2025, diperlukan tambahan kira-kira 14 GW pembangkit listrik EBT. Namun, kapasitas energi terbarukan dalam draf RUPTL terbaru hanya bertambah kira-kira 9 GW.
"Berarti ada selisih antara 5 GW yang sebenarnya bisa disumbang dari penggunaan PLTS Atap maupun penggunaan PLTS untuk pemegang wilayah usaha lain," kata Fabby.
Perlu disampaikan, daftar resmi pemerintah jumlah PLTS sampai dengan 2019 kemarin hanya 186 MW. Namun berdasarkan data Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), jumlah PLTS jauh lebih besar.
Fabby yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengungkapkan, pada 2020-2021 kapasitas PLTS baik yang ada di pipeline maupun yang sudah COD sampai dengan Juni 2021 lalu totalnya 4.913 MW
Baca Juga: PLN optimistis pertumbuhan konsumsi listrik 4,5% pada tahun ini bisa tercapai
Adapun sektor Corporate PPA total kapasitasnya paling besar yakni 480 MW. Sektor ini disumbang dari industri tambang yang mensubstitusi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke PLTS.
Kemudian, diikuti dari Independent Power Producer (IPP) ada yang sudah menekan perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA) dengan PLN totalnya 226 MW.
Lalu, dari presidensial solar rooftop sebesar 3,1 MW, corporate and industry 174 MW dan sisanya dari beberapa proyek APBN mencapai 11 MW. "Belum lagi dengan proyek didanaai APBD. ini hanya dari yang kami kumpulkan dari asosiasi energi surya Indonesia," ujarnya.
Fabby melihat, berdasarkan data AESI semua proyek yang sudah selesai maupun proyek dalam pipeline yang akan selesai di akhir tahun ini, total kapasitas listriknya 1 GW.
Fabby mengatakan, solusi penggunaan PLTS cukup efektif untuk mengatasi kondisi oversupply karena beban energi terbarukan tidak hanya dipegang PLN, tetapi ada partisipasi masyarakat dan dunia usaha di dalamnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News