Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
“Pemerintah juga perlu memikirkan mekanisme disinsentif lain agar pelaku usaha pertambangan minerba yang tidak patuh agar tidak lagi diberikan fasilitas pelayanan dan perpanjangan izin,” kata Iqbal.
Apa yang dikemukakan oleh Melky dan Iqbal itu menanggapi Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Minerba yang membuka opsi pemutihan bagi tunggakan PNBP milik perusahaan pemilik izin tambang yang sulit tertagih.
Per Agustus 2018, total tunggakan yang berisiko macet mencapai Rp 2,1 triliun, yang kebanyakan diantaranya adalah pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang skalanya lebih kecil. Angka tersebut merupakan bagian dari total tunggakan PNBP sektor pertambangan yang tahun ini sebesar Rp 5 triliun.
Peneliti Centre for Energy Research Asia (CERA), Agung Budiono menyebut, apabila tunggakan tidak tertagih, izin tambang harus dicabut. Pencabutan izin ini juga harus dilakukan ke seluruh perusahaan dengan penerima manfaat yang sama untuk menghindari sekedar perubahan nama.
Menurut Agung, hal itu senada dengan payung hukum tentang beneficial ownership (penerima manfaat utama) sehingga dapat dikejar siapa pemilik dan penerima manfaat utamanya. “Selain itu, Ditjen Pajak juga memungkinkan menelusuri dari aspek pajak dari si beneficial ownership dari perusahaan tambang yang menunggak,” imbuhnya.
Untuk memberikan efek jera, Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Urban WALHI Eknas mengusulkan, agar Kementerian ESDM memberlakukan daftar hitam (blacklist) bagi para pelaku usaha minerba yang menunggak tersebut.
Data blacklist juga dapat dikoordinasikan dengan instansi lain yang memiliki keterkaitan dengan industri minerba termasuk pembekuan rekening perusahaan dan pengurus perusahaan. “Penahanan (gijzeling) jika diperlukan harus dilakukan agar tunggakan dibayar,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News