Reporter: Emma Ratna Fury | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kementerian perindustrian menilai, rencana pemerintah untuk meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui framework convention on tobacco control (FCTC) belum perlu dilakukan.
"FCTC dampaknya akan sangat luas bagi indsutri rokok," kata Enny Ratnaningtyas Direktur Industri minuman dan tembakau Kementerian Perindustrian saat seminar Dampak aksesi FCTC bagi industri hasil tembakau di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (24/12).
Menurut Enny, hal tersebut dikarenakan beberapa hal seperti dari total produksi cengkih yang sekitar 18%-20% didistribusikan untuk rokok filter, dan 30-40% didistribusikan untuk non filter.
"Sekitar 93% industri rokok yang membuat kretek, sehingga Indonesia masih menjadi negara produsen kretek," ujarnya.
Ia menambahkan, aturan-aturan dalam FCTC yang mengatur tentang harga, perlindungan asap rokok, kemasan, iklan promosi, edukasi dan sebagainya, sudah ada dalam aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
PP tersebut sebagian besar isinya sama dengan aturan-aturan yang ada pada FCTC sehingga menurut Enny, indonesia sudah memiliki aturan yang melindungi konsumen.
"Isinya sebagian besar mengadopsi FCTC, sehingga kita sudah punya aturan yang melindungi kesehatan juga," ucapnya.
Hanya saja, implementasinya dari PP tersebut yang masih dilakukan secara bertahap sehingga dirasa implementasi dari PP tersebut belum berdampak cukup signifikan.
Ia menambahkan, FCTC dikhwatirkan aturannya semakin ketat dan dinamis tetapi rawan dengan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka. Pasalnya, efek ekonomi dari FCTC ini sangat besar, karena ada 6,1 juta jiwa yang terlibat.
"Indonesia belum perlu ratifikasi dengan pertimbangan kepentingan industri, akan lebih baik kalau fokuskan dulu PP no 109," tutup Enny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News