Reporter: Agung Hidayat | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor industri masih menjadi tumpuan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, sektor industri pengolahan di tahun 2017 mencapai 20,16% terhadap total produk domestik bruto (PDB) nasional. Lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor yang lain.
Tidak heran bila sektor Industri masih menjadi motor penggerak perekonomian nasional. "Sekaligus sebagai tulang punggung ketahanan ekonomi nasional dengan berbasis sumber daya lokal yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto, Senin (19/2).
Perlu diketahui, industri pengolahan non migas sepanjang tahun lalu menorehkan kinerja yang cukup baik, yakni tumbuh sebesar 4,84%. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 sebesar 4,43%.
Di Industri non migas, sektor Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) merupakan paling potensial. Tahun ini Kemenperin menargetkan nilai investasi di sektor IKTA ini sebesar Rp 117 triliun.
Perdagangan bebas
Walaupun memiliki memiliki prospek menjanjikan, para pengusaha masih banyak merasakan hambatan. Terutama di sektor energi seperti pasokan listrik dan gas yang sampai saat ini masih dirasa terlalu mahal.
Christine Halim, Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) mengeluhkan banyaknya pebisnis skala menengah yang belum menikmati ketersediaan listrik murah. "Banyak dari kami tentu saja tidak mampu memakai suplai listrik premium yang mahal, sementara butuh listrik banyak untuk penambahan produksi," ujar Christine.
Padahal, industri plastik daur ulang cukup berprestasi di bidang ekspor. Setidaknya terdapat 280 anggota Adupi yang produknya berorientasi ekspor ,seperti ke Bangladesh, Eropa Timur dan China.
Di lain pihak, industri keramik menyoroti wacana penurunan harga gas yang tak kunjung terjadi. Elisa Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengharapkan, solusi agar harga gas bisa mempengaruhi kompetisi industri, baik di dalam dan luar negeri.
Sulitnya mendapatkan sumber energi yang murah menyebabkan daya saing produk lokal menjadi tidak kompetitif lagi dibandingkan produk impor. "Saat ini saja impor keramik mulai marak. Setelah bea masuk mereka berkurang, impor kemungkinan tumbuh hingga 40%," terang Elisa.
Soal harga gas, industri IKTA berharap pengembangan Blok Masela terealisasi secepatnya. Namun sampai saat ini belum mendapatkan titik temu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan investor.
Anne Patricia Sutanto, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Luar Negeri Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, selain di sektor hulu pihaknya berharap peran pemerintah membuka perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) "Kami berusaha mengejar FTA agar sejajar dengan kompetitor, Vietnam," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News