Reporter: Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
YOGYAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemperin) serius mengembangkan industri pengolahan biji kakao dalam negeri. Hal itu didorong peningkatan nilai ekspor kakao olahan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2014, ekspor olahan kakao meningkat 23,3% menjadi 242.200 ton dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 196.300 ton. Pada tahun 2015, Kemperin juga menargetkan ekspor kakao olahan meningkat di atas 23% atau sebesar bisa mencapai 300.000 ton hingga 400.000 ton.
Beberapa upaya yang dilakukan untuk menggairahkan industri hilir kakao dalam negeri adalah dengan mendorong peningkatan produksi perkebunan kakao di Indonesia. Pasalnya, selama ini, tanaman kakao lokal baru bisa menghasilkan rata-rata 500 kilogram (kg) per hektare (ha) per tahun. Padahal idealnya di negara-negara penghasil kakao seperti Pantai Gading dan Ghana bisa memproduksi rata-rata 2 ton kakao per ha.
"Kita akan bekerjasama dengan Kementerian Pertanian untuk mendorong peningkatan produksi perkebunan kakao," ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin di Yogyakarta pekan lalu.
Saleh menyadari peningkatan hilirisasi kakao mengerek kebutuhan impor biji kakao karena perkebunan kakao dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan industri kakao. Sejalan dengan peningkatan hilirisasi, Kemperin telah meminta kerjasama dari Kemtan untuk turut mendorong peningkatan produksi perkebunan biji kakao lokal.
Bila hal itu tercapai, maka Kemperin yakin peningkatan produk olahan kakao yang diekspor tidak berbanding lurus dengan impor biji kakao. "Kalau produktivitas perkebunan kakao bisa mencapai 2 ton per ha, maka banyak industri olahan kakao akan mengurangi impor," imbuhnya.
Peranan industri kakao dalam negeri cukup besar. Pada tahun 2014, devisa yang disumbangkan dari komoditi kakao mencapai US$1,24 miliar. Industri Kakao masih memiliki potensi untuk meningkatkan kinerjanya dengan mengembangkan berbagai macam produk turunan yang bernilai tambah tinggi dengan beragam produk yang dihasilkan.
Kendati begitu, konsumsi kakao masyarakat Indonesia saat ini masih relatif rendah dengan rata-rata 0,5 kg per kapita per tahun. Karena itu, pemerintah terus mendorong agar konsumsi kakao terus meningkat.
Volume konsumsi tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi negara-negara Asia seperti Singapura dan Malaysia yang sudah mencapai 1 kg per kapita per tahun, dan Negara Eropa yang konsumsinya lebih dari 8 Kg per kapita per tahun.
Salah satu upaya untuk peningkatan konsumsi cokelat adalah melalui sosialisasi maupun gerakan seperti Peringatan Hari Kakao Indonesia.
Menperin berharap konsumsi cokelat Indonesia pada tahun 2012 baru sebesar 0,2 kg per kapita per tahun meningkat menjadi 0,5 kg per kapita per tahun pada tahun 2014 dan diharapkan pada akhir tahun 2015 menjadi sebesar 0,6 kg per kapita per tahun.
Thierry Detournay pemilik PT Anugerah Mulia Indobel yang menjual kakao merek Chocolate Monggo di Yogyakarta mengatakan selama ini industri pengolahan kakao mengimpor biji kakao karena biji kakao dengan kualitas tinggi masih jarang dihasilkan di perkebunan kakao dalam negeri.
Ia mengatakan, seharusnya pemerintah bisa mendorong petani kakao untuk melakukan fermentasi terhadap biji kakao sehingga kualitasnya membaik. "Pemerintah bisa mendorong agar petani menjual biji kakao yang sudah difermentasi untuk meningkatkan kualitas biji kakao dengan memberikan insentif tertentu," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News