Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) tampaknya bakal menemui jalan panjang. Sebab saat ini pemerintah maupun DPR masing-masing bersikukuh RUU harus sesuai dengan inisiatif mereka.
Di tingkat pemerintah, sejatinya RUU sudah final, karena sudah melewati pembahasan antarkementerian, bahkan kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah lebih dulu menyampaikan draf RUU ini kepada DPR pada pertengahan April 2014 silam.
Kementerian ESDM ingin mendapatkan tanggapan dan masukkan dari DPR agar saat draf ini resmi dikirimkan oleh Presiden sebagai RUU pembahasannya lebih ringkas. Tapi, di sisi lain, DPR juga tengah menyiapkan draf RUU Migas versi DPR. Akibatnya belum jelas RUU Migas versi yang mana yang nantinya bakal dibahas bersama-sama.
"Karena DPR memiliki hak inisiatif, kita tunggu saja draf mana yang akan digunakan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melalui pesan singkatnya kepada KONTAN Selasa (12/5).
Namun keinginan Kementerian ESDM untuk meminta masukkan kepada DPR ini tak mendapat restu dari istana, karena menyalahi prosedur. Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Susyanto memaparkan, Sekretaris Kabinet melarang pembahasan draf RUU Migas ke DPR terlebih dahulu.
Sesuai prosedur pemerintah harus lebih dulu mengirimkan amanat presiden atawa Ampres RUU Migas ini kepada DPR untuk meminta penjadwalan pembahasan. Menurut Susyanto sejatinya, draf RUU Migas dari Kementerian ESDM tersebut sudah banyak dibahas di berbagai forum bersama beberapa ahli migas, kontraktor migas, dan anggota DPR Komisi VII. Nah draf itu hingga kini belum ada perubahan.
BPH Migas harus ada
Menanggapi ini, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi partai Nasdem, Kurtubi menilai, pemerintah memang tidak bisa seenaknya menetapkan RUU Migas hanya dengan inisiatif mereka sendiri.
"DPR menolak keras kalau hanya inisiatif Kementerian ESDM yang dipakai, DPR punya kewenangan menentukan, dan membentuk inisiatif juga," tekannya, kepada KONTAN, Selasa (12/5).
Beberapa poin di draf RUU yang menjadi kritikan Kurtubi, diantaranya keinginan Kementerian ESDM membentuk BUMN Migas baru di dalam RUU Migas versi Kementerian ESDM tersebut. Kurtubi juga menolak, perubahan Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) diubah menjadi BUMN Khusus Hulu maupun pembentukan BUMN Hilir.
Mantan pegawai Pertamina ini mengusulkan SKK Migas dan BPH Migas dilikuidasi, lalu tugas dan wewenangnya dikembalikan kepada PT Pertamina. "Indonesia pernah punya pengalaman tahun 60-an, bahwa ada tiga BUMN migas. Tapi pada akhirnya tumpang tindih, tidak efisien dan malah mengeruk sendiri hasil migas nasional," terangnya.
Ia menandaskan, tata kelola migas sesuai konstitusi harus dibuat sederhana dan tidak berbelit. Makanya, penyelenggaraan migas harus kembali kepada perusahaan migas nasional. "Tidak ada lagi yang namanya BUMN migas yang dibentuk, itu menjadi berbelit-belit," tandasnya.
Sementara Ketua Komisi VII DPR, dari Fraksi Partai Gerindra, Kardaya Warnika justru menegaskan, fraksinya mendukung adanya BUMN Khusus Hulu Migas yang akan Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Namun, Fraksi Gerindra tak setuju Badan Usaha Penyangga Migas. Dia menyatakan, pemerintah harus mempertegas soal tugas pokok dan fungsi yang jelas dari Badan Penyangga tersebut. DPR hingga kini juga belum menegaskan apakah akan membuat draf RUU Migas sendiri. n Kota Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menyampaikan draf Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) ke DPR. Namun, ternyata Sekretariat Kabinet (Setkab) melarang ESDM meminta masukan dari DPR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News