kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kenaikan royalti bikin batubara tidak ekonomis


Senin, 07 April 2014 / 12:18 WIB
Kenaikan royalti bikin batubara tidak ekonomis
ILUSTRASI. Promo Dunkin edisi 12-18 November 2022 tawarkan harga khusus (dok/dunkin-id)


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Rencana pemerintah yang ingin menaikkan royalti batubara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 10%-13,5% ditolak banyak pihak. Langkah pemerintah tersebut dinilai tidak tepat waktu karena di saat harga batubara sedang anjlok.

Demikian hal tersebut disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi), Budi Santoso saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/4).

Menurutnya, dampak yang dirasakan akibat rencana kenaikan tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah masyarakat yang akan kehilangan pekerjaan, karena perusahaan tidak bisa beroperasi lagi.

Selain itu usaha pendukung kegiatan pertambangan pun ikut terseret dampaknya, seperti para kontraktor maupun penyedia jasa lainnya. Karena itu, kebijakan ini tidak pro poor dan pro job seperti yang selalu didengungkan pemerintah.  

Ia menyebut keinginan pemerintah menaikkan royalti batubara IUP tersebut merupakan upaya kompensasi atas pendapatan negara yang hilang akibat kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral.

"Pemerintah berupaya melakukan improvisasi atas kompensasi mineral. Tapi ini (improvisasi) yang salah," tegas Budi.

Pemerintah, lanjutnya hanya melihat dari sudut pandang pendapatan negara dengan cara menaikkan royalti. Padahal, seharusnya tidak hanya melihat dari sisi pendapatan negara tetapi harus dilihat dari manfaat ekonomi dan multiplier effect dari kegiatan usaha pertambangan batubara.

"Jangankan dinaikkan (13,5%) setara PKP2B, yang 7% saja masih banyak pengusaha yang akan gulung tikar," imbuhnya.

Selain karena panik akibat pendapatan negara yang tergerus dari sektor mineral, kebijakan ini juga dinilai ada kesalahan pandangan terkait batubara. Batubara hanya dipandang sebagai komoditas pertambangan semata. Padahal, batubara adalah sumber energi dan merupakan sumber energi yang murah dibandingkan dengan minyak.

Jika pemerintah ingin melakukan konservasi sumber daya batubara dengan menaikkan royalti, maka langkah tersebut dinilai tidak tepat. Sebab dengan menaikkan royalti, maka biaya juga akan naik.

Ia mencontohkan, jika ada 100 juta ton cadangan, maka cadangan yang bisa diambil minimal 75 juta ton. Tetapi jika dengan menaikkan royalty 13,5%, maka cadangan yang bisa diambil hanya 50-60 juta ton. Dan sisa cadangan tidak bisa diambil, sebab tidak ekonomis.

"Jadi jangan berpikir bahwa cadangan tersisa masih banyak sehingga dari sisi konservasi akan bagus. Itu (cadangan sisa) juga tidak bisa ditambang, tidak ekonomis apalagi kalau harganya masih seperti sekarang ini," pungkasnya.

Seperti diketahui bahwa, pemerintah berencana menaikkan royalti batubara untuk IUP, melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×