Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) optimistis proyek gasifikasi batubara menjadi Dymethil Ether (DME) bakal terus berlanjut. Dalam proyek hilirisasi batubara ini, PTBA menggandeng PT Pertamina (Persero) dan Air Product. Kerjasama ketiganya akan ditandatangani pada bulan ini.
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin menyampaikan, pihaknya sudah melakukan studi kelayakan, pencarian investor dan penjajakan kerjasama sejak 2018. Nantinya, Air Product akan bertindak sebagai penyedia teknologi dan investor. Sedangkan Pertamina sebagai offtaker yang akan membeli produk DME hasil dari proyek tersebut.
Adapun PTBA bertugas untuk memasok batubara sebagai bahan baku, menyiapkan lahan dan infrastruktur di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Proyek ini ditargetkan bisa mulai beroperasi komersial (COD) pada Triwulan II tahun 2024.
"Kita sudah menyusun apabila ini berjalan lancar, akhir tahun ini kita akan tandatangani perjanjian kerjasama antara PTBA, Pertamina, Air Product. Kemudian diharapkan segala proses EPC, konstruksi dan sebagainya, pabrik ini akan beroperasi di Triwulan II 2024," terang Arviyan saat Rapat Dengar Pendapat Bersama Komisi VII DPR RI, Senin (7/12).
Baca Juga: Potensi melimpah, Pertamina berkomitmen terus kembangkan EBT di Indonesia
Dia membeberkan, total investasi proyek gasifikasi batubara ini diperkirakan sekitar US$ 2,1 miliar atau senilai dengan Rp 30 triliun. Arviyan bilang, PTBA dan Pertamina tidak akan mengeluarkan biaya dalam investasi tersebut. Sebab, investasi dan pembangunan pabrik akan ditanggung oleh Air Product.
"Air Product akan membangun pabrik gasifikasi ini dari A to Z kita tidak keluar biaya dalam investasi. Tapi dalam skema bisnis ini tiga pigak punya kewajiban masing-masing," jelasnya.
Nantinya, skema kerjasama dalam bentuk Build Operate Transfer (BOT). PTBA dan Pertamina pun memiliki opsi untuk masuk sebagai pemegang saham ketika proyek DME ini terbukti berhasil setelah satu tahun COD. Opsi saham yang bisa dimiliki kedua BUMN tersebut sebanyak 40%.
"Dalam waktu satu tahun setelah COD punya opsi memiliki saham 40%, yang mana porsi saham ini dibeli sesuai dengan investasi awal," ujar Arviyan.
Jika opsi itu berjalan, maka PTBA dan Pertamina masing-masing memiliki saham 20% yang ketika ditotal sebanyak 40%, sedangkan 60% sisanya dimiliki Air Product. Namun setelah 20 tahun COD, PTBA dan Pertamina bisa memiliki proyek ini melalui Joint Venture (JV).
Arviyan mengungkapkan proyek DME ini penting sebagai substitusi LPG, sehingga bisa menekan impor. Pasalnya, impor LPG Indonesia mencapai sekitar 7 juta ton setiap tahun. Adapun, pabrik DME PTBA-Pertamina bersama Air Product ini memiliki kapasitas untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun.
Baca Juga: Harga tiga komoditas akan atraktif pekan ini, simak rekomendasi sahamnya
Produksi itu ditaksir mampu mengurangi impor LPG sebesar 1 juta ton. Dengan begitu, Arviyan menghitung bahwa proyek gasifikasi ini bisa menghemat neraca perdangan sekitar Rp 5,5 triliun per tahun
Proyek ini akan membutuhkan pasokan batubara kalori rendah sebanyak 6 juta ton per tahun. Menurut Arviyan, batubara jenis ini tidak laku dipasaran, sehingga dengan proyek gasifikasi, batubara kalori rendah menjadi bisa dimanfaatkan. Apalagi dari sekitar 3 miliar ton cadangan batubara PTBA, hampir 2 miliar ton merupakan batubara kalori rendah.
Kendati begitu, Arviyan mengakui masih perlu dorongan dari pemerintah agar proyek ini bisa kompetitif secara keekonomian. Pasalnya, struktur harga antara LPG sebagai komoditas dan DME sebagai produk memang berbeda.
Kendati begitu, harga DME diklaim lebih murah ketimbang impor LPG. Arviyan memberikan gambaran, selama tahun 2019, rata-rata harga impor LPG sebesar US$ 568 per ton. Bahkan rata-rata dalam 10 tahun terakhir mencapai US$ 650 per ton.
Sedangkan harga DME berkisar di angka US$ 420 per ton. "Dan kita masih berusaha untuk melakukan efisiensi dari segala sisi," sambung Arviyan.
Baca Juga: Kementerian ESDM klaim proyek batubara menjadi DME hasilkan enam dampak positif
Untuk membuat proyek dan produk DME menjadi kompetitif, Arviyan menilai perlu ada regulasi yang memungkinkan adanya pengalihan subsidi negara dari LPG ke DME. Kata dia, PTBA bersama Pertamina pun sedang membicarakan usulan ini ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
"Dua-duanya mungkin memerlukan subsidi dari negara (LPG dan DME). Maka perlu payung huku untuk bisa membolehkan pengalihan subsidi dari LPG ke DME. Kalau buat pemerintah ini kan masalah variable subsidi sama fix subsidi saja sebenarnya. Kalau LPG bisa naik turun, kalau DME akan fix," pungkas Arviyan.
Selanjutnya: Kementerian ESDM pastikan target produksi batubara di 2021 sebesar 550 juta ton
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News