Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
Kendati begitu, Arviyan mengakui masih perlu dorongan dari pemerintah agar proyek ini bisa kompetitif secara keekonomian. Pasalnya, struktur harga antara LPG sebagai komoditas dan DME sebagai produk memang berbeda.
Kendati begitu, harga DME diklaim lebih murah ketimbang impor LPG. Arviyan memberikan gambaran, selama tahun 2019, rata-rata harga impor LPG sebesar US$ 568 per ton. Bahkan rata-rata dalam 10 tahun terakhir mencapai US$ 650 per ton.
Sedangkan harga DME berkisar di angka US$ 420 per ton. "Dan kita masih berusaha untuk melakukan efisiensi dari segala sisi," sambung Arviyan.
Baca Juga: Kementerian ESDM klaim proyek batubara menjadi DME hasilkan enam dampak positif
Untuk membuat proyek dan produk DME menjadi kompetitif, Arviyan menilai perlu ada regulasi yang memungkinkan adanya pengalihan subsidi negara dari LPG ke DME. Kata dia, PTBA bersama Pertamina pun sedang membicarakan usulan ini ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
"Dua-duanya mungkin memerlukan subsidi dari negara (LPG dan DME). Maka perlu payung huku untuk bisa membolehkan pengalihan subsidi dari LPG ke DME. Kalau buat pemerintah ini kan masalah variable subsidi sama fix subsidi saja sebenarnya. Kalau LPG bisa naik turun, kalau DME akan fix," pungkas Arviyan.
Selanjutnya: Kementerian ESDM pastikan target produksi batubara di 2021 sebesar 550 juta ton
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News