Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi sumber daya energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia sungguh melimpah, namun belum mampu dikembangkan secara optimal. Lantas, PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Power & New Renewable Energy (NRE) mencoba menangkap peluang pengembangan EBT di Indonesia.
Director of Strategic Planning & Business Development Pertamina Power Indonesia Ernie D. Ginting menyampaikan, ruang pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat besar.
Dalam paparan Pertamina yang dikutip dari data Kementerian ESDM, total potensi EBT di Indonesia hingga saat ini mencapai 417 gigawatt (GW). Mayoritas sumber EBT nasional berasal dari tenaga surya yakni sebanyak 207,8 GW. Kemudian disusul oleh sumber tenaga hidro sebesar 75 GW, angina 60,6 GW, bioenergi 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW, dan tenaga laut 17,9 GW.
Sayangnya, total utilisasi EBT di Indonesia sampai tahun ini baru mencapai 10,4 GW atau 2,5% dari total potensi EBT yang ada.
Baca Juga: Kembangkan program gasifikasi batubara, Pertamina gandeng dua emiten batubara ini
Sebagian besar sumber EBT yang sudah di utilisasi berasal dari tenaga hidro yaitu sebesar 6.078,4 megawatt (MW). Setelah itu, terdapat sumber tenaga panas bumi yang telah dimanfaatkan sebanyak 2.130,7 MW, bioenergi sebesar 1.895,7 MW, angin sebesar 154,3 MW, dan surya 150,2 megawatt peak (MWp). Adapun sumber tenaga laut sampai sekarang belum di utilisasi sama sekali.
Ernie menyebut, terdapat beberapa peran penting pengembangan EBT terhadap ketahanan energi nasional. Salah satunya EBT berperan dalam penyediaan suplai dan permintaan energi. EBT juga akan berperan penting terhadap perbaikan neraca perdagangan Indonesia melalui pengurangan impor minyak dan LPG.
“Untuk pengurangan impor minyak diimplementasikan melalui pengembangan biodiesel dan green gasoline, sedangkan impor LPG dikurangi melalui pengembangan DME, metanol, hingga kompor induksi,” ungkap dia dalam Pertamina Energy Webinar, Selasa (8/12).
Indonesia sendiri dinilai sangat ambisius dalam mengembangkan EBT. Ini mengingat di tahun 2035 nanti ditargetkan kapasitas EBT yang terpasang mencapai 47,65 GW. Artinya, diperlukan tambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 37,35 GW hingga tahun 2035 mendatang.
Dari situ, Ernie berasumsi bahwa di tiap tahun minimal kapasitas pembangkit EBT yang terpasang dapat mencapai 3 GW supaya target tersebut bisa terpenuhi. Investasi EBT pun tidak main-main. Menurutnya, untuk 1 megawatt (MW) pembangkit EBT akan menelan biaya investasi sekitar US$ 1 juta. Jumlah tersebut bisa bertambah tergantung jenis pembangkit EBT beserta risiko sumber EBT tersebut.
“Kalau panas bumi butuh US$ 3 juta - US$ 4 juta untuk 1 MW. Artinya, untuk menambah kapasitas 3 GW, diperlukan US$ 2 miliar - US$ 3 miliar capex di tiap tahun agar target bisa tercapai,” terang dia.
Pertamina pun sudah memiliki berbagai inisiatif terkait pengembangan EBT di tanah air. Di sektor pembangkit, Pertamina melalui PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terus mengembangkan proyek-proyek pembangkit panas bumi dengan target kapasitas 1,3 GW dalam 3—4 tahun ke depan.
Pertamina juga mengembangkan beberapa proyek panel surya dengan skema Independent Power Producers (IPP) di wilayah dengan tingkat radiasi sinar matahari yang baik. Selain itu, Pertamina turut menjalin kemitraan strategis untuk pengembangan pabrik panel surya.
“Kami harapkan industri manufaktur panel surya akan berkontribusi menurunkan harga jual listrik tenaga surya dan meningkatkan TKDN,” imbuh Ernie.
Baca Juga: Kementerian ESDM klaim proyek batubara menjadi DME hasilkan enam dampak positif
Dari sisi mobilitas (mobility), Pertamina berkontribusi dalam pengembangan biofuel melalui program biodiesel 30% atau B30 hingga pengembangan Green Refinery untuk memproses Green Diesel D100.
Selain itu, Pertamina beserta BUMN lain seperti MIND ID dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bekerja sama untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik dengan kapasitas sebesar 5,1 GW. Pertamina juga mencoba mengembangkan infrastruktur penunjang seperti stasiun pengisian baterai kendaraan listrik baik untuk roda dua maupun roda empat.
Tak ketinggalan, Pertamina turut berkontribusi melalui pengembangan gasifikasi batubara menjadi DME yang bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk guna mengurangi impor LPG di masa mendatang.
Selanjutnya: Dorong transisi ke energi bersih, Pertamina bakal investasi US$ 18 miliar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News