kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketergantungan pada Batubara Menunjukkan Tren Penurunan Secara Global


Kamis, 29 September 2022 / 10:20 WIB
Ketergantungan pada Batubara Menunjukkan Tren Penurunan Secara Global
ILUSTRASI. Batubara di PLTU PLN.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren global menunjukan dunia perlahan mengurangi ketergantungannya kepada batubara. Hal itu terutama terjadi di India. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia diharapkan harus serius mempersiapkan skenario melepaskan diri dari ketergantungan sebagai produsen sekaligus eksportir batubara.

Rancangan rencana ketenagalistrikan nasional (National Electricity Plan/NEP) India menunjukkan adanya peningkatan solar dan penurunan kapasitas PLTU batubara di 2030.

PLTU batubara dalam bauran pembangkit listrik di India akan menurun menjadi 50% pada tahun 2030 dibandingkan dengan kontribusi saat ini sebesar 70%.

Baca Juga: Adaro Energy Indonesia (ADRO) Dorong Diversifikasi Bisnis di Luar Industri Batubara

NEP India memperlihatkan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas pembangkit tenaga surya terpasang pada tahun 2027, 2030, dan juga revisi penurunan kapasitas batubara terpasang jika dibandingkan dengan laporan Bauran Kapasitas Pembangkitan Optimal Otoritas Listrik Pusat (Central Electricity Authority’s Optimal Generation Capacity Mix) yang dirilis pada tahun 2020.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, India merupakan negara kedua tujuan ekspor batubara Indonesia, pada tahun 2020 tercatat 97,5 juta ton batubara yang diekspor ke sana.

“Pemerintah Indonesia harus serius mempersiapkan skenario melepaskan ketergantungan dari produsen sekaligus eksportir batubara, karena dunia akan meninggalkan energi fosil ini seiring dengan semakin terjangkaunya energi terbarukan,” kata Aryanto dalam keterangannya, Kamis (29/9).

Di sisi lain, menurut Aryanto, sebenarnya Indonesia telah lama mematok batas ekspor batubara hingga 400 juta ton pada 2019 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) sayangnya hal tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten.

Menurutnya, dampak tidak dijalankannya pengendalian produksi sebagai amanat RUEN, berakibat pada sulitnya Indonesia lepas dari jebakan volatility ekonomi batubara, termasuk minim skenario mitigasi dari makin menurunnya permintaan global batubara; serta terhambatnya transisi energi.

“Selain itu, konsekuensi dari obral ekspor lebih banyak batubara, artinya terjadi bukaan lahan dan emisi yang besar dari aktivitas ekstraksi batubara tersebut,” tegasnya.

Andri Prasetiyo, Peneliti Trend Asia menambahkan bahwa manuver transisi energi yang terjadi di kawasan sebagaimana kebijakan ketenagalistrikan India, harus menjadi sinyal penting bagi Pemerintah Indonesia untuk segera menyusun peta jalan transisi energi berkeadilan dan memastikan implementasinya dari sisi hulu hingga hilir.

Baca Juga: MNC Energy Investments (IATA) Kejar Produksi 6,3 Juta Ton Batubara Tahun Ini

“Ketika dinamika energi global mengarah pada upaya transisi energi energi terbarukan, menunda percepatan transisi energi di dalam negeri berarti akan meningkatkan potensi risiko baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan” kata Andri.

Ke depan, pasar ekspor batubara akan semakin berkurang drastis. Kecenderungan ini tidak terhindarkan dan harus disikapi secara strategis bukan dengan meningkatkan serapan hasil produksi batubara nasional melalui rencana pemerintah untuk masih menambah PLTU batubara secara masif hingga 2032 ataupun proyek penggunaan produk turunan batubara seperti gasifikasi.

Revisi tersebut, tampaknya melebihi komitmen yang dibuat oleh Perdana Menteri Narendra Modi di KTT Perubahan Iklim COP26, Glasgow, tahun lalu. Menurut NDC India yang telah diperbaharui, negara itu akan meningkatkan total porsi kapasitas non-fosil terpasang menjadi 50% pada tahun 2030.

Namun, menurut rancangan rencana listrik, India akan memiliki 57% kapasitas non-fosil pada tahun 2027 dan 68% kapasitas terpasang non-fosil pada tahun 2032.

Dibandingkan dengan rencana listrik India sebelumnya yang dirilis pada tahun 2018, India diharapkan memiliki 150 GW kapasitas surya terpasang pada tahun 2027. Rancangan rencana ketenagalistrikan baru meningkatkan target ini dengan tambahan 36 GW menjadi 186 GW pada tahun 2027.

Menurut Ember's Electricity Data Explorer, energi terbarukan India kapasitas telah tumbuh pada tingkat pertumbuhan rata-rata 19% per tahun antara 2016 hingga 2021.

Vibhuti Garg, Ekonom Energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengatakan draf rancangan ketenagalistrikan India menunjukkan bahwa negara itu bertujuan mengandalkan tenaga surya untuk sebagian besar kebutuhan listriknya di masa depan.

Baca Juga: Pemerintah Belum Berencana Melakukan Perubahan Target Produksi Batubara Nasional 2022

“Ini adalah lompatan besar, dan melihat tren peningkatan pertumbuhan energi surya hingga dua digit selama 5 tahun terakhir, industri energi surya India tampaknya akan meledak. Menetapkan target tenaga surya sebesar 333 GW merupakan indikasi yang jelas bagi sektor manufaktur India untuk berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas manufaktur dalam negeri,” katanya.

India meningkatkan kapasitas terpasang tenaga surya dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 47% per tahun antara 2016 – 2021. Dibandingkan dengan pertumbuhan dua digit dalam ekspansi kapasitas tenaga surya, tenaga angin melihat tingkat pertumbuhan satu digit sebesar 7% selama periode yang sama.

India adalah produsen, konsumen sekaligus importir kedua terbesar di dunia. Konsumsi batubara India pertama kalinya mencapai 1 miliar ton pada tahun fiskal 2021/2022, dengan level produksi domestik saat ini telah mencapai 770 juta ton, di mana sisanya ditutup dari impor, salah satu pemasok terbesarnya adalah Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×