Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
SEMARANG. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan pemberhentian proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, atau memindahkan proyek yang sudah berjalan selama tiga tahun itu ke lahan yang tidak bermasalah.
Rekomendasi itu muncul karena menurut Komnas HAM juga telah terjadi banyak pelanggaran HAM terkait proyek itu. Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi mengatakan pihaknya sudah dua kali mengeluarkan rekomendasi tersebut.
"Sekarang ini semakin tidak jelas, kami melihat hak-hak warga terabaikan dalam banyak hal atau kurang terpenuhi, kalaupun ada yang terpenuhi itu tidak optimal," ujarnya di Semarang, Rabu (15/10).
Hal itu disampaikan seusai melakukan pertemuan dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk membahas kelanjutan proyek PLTU tersebut. Hadir pula dalam pertemuan jajaran Kodam IV/Diponegoro, Polda Jateng, PT PLN serta Pemerintah Kabupaten Batang.
Dianto mengatakan bahwa sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi antara lain adanya intimidasi, munculnya kekerasan, hak informasi yang tidak terpenuhi, kenyamanan hidup dan ketenangan kehidupan sosial yang berkurang, serta terabaikannya hak-hak ekonomi warga.
Menurut dia, terdapat dua hal yang saat ini menjadi perhatian, yakni situasi yang tidak jelas apakah proyek ini dilanjut atau tidak, serta adanya intimidasi pada proses pembebasan tanah yang masih tersisa sekitar 7 hektare. Dia mengatakan bahwa ketidakpastian proyek itu membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih tidak nyaman.
"Sudah tidak nyaman, ditambah tidak nyaman lagi karena ketidakjelasan ini, jadi lebih baik yang di lokasi itu dihentikan saja," ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, seharusnya bisa melakukan evaluasi bahwa proyek ini sudah sangat berat untuk dilanjutkan. Namun sekarang, pemerintah justru memberikan kewenangan kepada PT PLN untuk mengambil alih proses pembebasan tanah dengan skema baru berdasarkan Undang-Undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dia mengatakan, PLTU Batang bukanlah proyek pemerintah, tetapi proyek yang diimplementasikan dengan skema public private partnership.
"Jadi pemerintah butuh, lalu ada investor swasta yang mendanai dan pemerintah biasanya menyertakan modal dalam bentuk lahan," katanya.
Namun, dalam proyek ini, hampir 60% proses pembebasan tanahnya dilakukan oleh pihak swasta.
"Ini yang jadi membingungkan, karena bisa menimbulkan persoalan hukum. Dan proyek ini tidak hanya terkait dengan pemilik lahan, tapi juga warga penggarap, tukang ojek pembawa hasil pertanian dan nelayan. Ada ribuan warga yang terdampak," tuturnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, berharap Komnas HAM yang dinilai memiliki data-data tersebut untuk bisa menjadi semacam mediator.
"Negosiasi PLTU Batang saat ini masih berada di level pusat dan karena public private partnership, maka mau diambil negara sehingga proses pembebasan tanahnya menggunakan UU tentang pengadaan tanah," katanya.
Proyek pembangkit listrik senilai empat miliar dolar AS, ini dibiayai oleh investor asal Jepang Sumimoto Mitsui Banking Cooperation dan Japan Bank for International Cooperation (JICA). Jika proyek tidak segera terealisasi, PLN memperkirakan akan terjadi kelangkaan tenaga listrik di wilayah Jawa, Bali dan sekitarnya pada 2017-2018 mendatang. (Puji Utami)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News