kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45917,91   -17,61   -1.88%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

KRAS: Maraknya baja impor membuat persaingan tidak sehat


Rabu, 19 Desember 2018 / 19:22 WIB
KRAS: Maraknya baja impor membuat persaingan tidak sehat
ILUSTRASI. Peresmian Pabrik Krakatau Nippon Steel Sumikin (KNSS)


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Maraknya impor baja diyakini PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menyebabkan persaingan di tingkat lokal menjadi tidak sehat. Selain dianggap curang, karena menyiasati Nomor HS perdagangan, banyaknya barang impor dipercaya menekan harga baja.

Silmy Karim, Direktur Utama KRAS mengatakan kebanyakan pelaku impor memasukkan baja ke Indonesia dengan Nomor HS boron sehingga nilai bea masuknya didapat lebih rendah ketimbang baja biasa.

Oleh karena itu, KRAS sebagai produsen dan asosiasi baja The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) getol menyuarakan agar Permendag 22/2018 dapat direvisi.

Karena dalam regulasi tersebut Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang tujuan sebenarnya untuk menurunkan waktu tunggu barang di pelabuhan (dwelling time), namun malah membuka celah masuknya impor baja dengan modus mengganti Harmonized System (HS) dari baja jenis carbon steelmen jadi jenis alloy steel.

Beruntung, kata Silmy, revisi terhadap regulasi tersebut bakal dirampungkan. Meski demikian, ia mengakui masih perlu waktu agar peraturan yang baru efektif sebab ijin impor dari Permendag 22/2018 masih berlaku hingga Maret 2019 nanti. "Harapan kami setelah rampung (revisi) maka April tahun depan sudah dapat terasa bagi industri baja lokal," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (19/12).

Berkompetisi dengan produk impor, menurut Silmy tidaklah mudah, sehingga regulasi pendukung sangat urgen bagi produsen baja nasional. KRAS sebenarnya sudah mencoba melakukan efisiensi dari segala lini agar lebih kompetitif. "Kami sudah menghemat hampir Rp 1 triliun di tahun ini. Cuma karena harga belum naik, penghematan dirasakan belum ada artinya," sebut Silmy.

Sementara itu beredar kabar bahwa industri baja di China menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari perang dagang mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan relokasi industri ke Indonesia.

Menurut Silmy, kemungkinan mereka masuk sektor hilir, sebab saat ini sektor hulu seperti KRAS sudah berencana membangun kapasitas produksi yang besar mencapai 10 juta ton per tahun.

Bagi produsen sebenarnya tidak ada masalah, asal industri yang datang dapat memberikan nilai tambah dan merangsang pertumbuhan pasar. "Sebab konsumsi baja di Indonesia masih rendah dibandingkan negara Asean lainnya," ujar Silmy.

Saat ini rata-rata utilisasi KRAS telah mencapai 80%, dan setiap tahunnya bakal terus ditingkatkan. Di tahun depan direncanakan lini produksi baru perseroan yakni, fasilitas blast furnace untuk produksi crude steel berkapasitas terpasang 1,5 juta ton per tahun akan rampung.

Crude steel tersebut dapat diproses lagi, salah satunya menghasilkan Hot Strip Mill (HSM). Sehingga nantinya output HSM diharapkan semakin bertambah, kurang lebih kapasitasnya bisa memenuhi sekitar 4,5 juta ton per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×