Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis baja China dianggap akan semakin memperbesar peluang Indonesia menjadi negara target 'buangan' baja yang tidak terserap oleh negara tirai bambu tersebut.
Mengutip Bloomberg, pada paruh pertama tahun ini China mencatat hampir tiga perempat dari produsen baja mengalami kerugian dan kebangkrutan. Termasuk diantaranya pemain-pemain besar baja, seperti Xinjiang Ba Yi Iron & Steel Co, Gansu Jiu Steel Group dan Anyang Iron & Steel Group Co.
Krisis ini disebabkan oleh menurunnya permintaan dalam negeri sehingga satu-satunya jalan adalah melakukan ekspor ke negara-negara lain. Adapun, langkah ini dinilai akan berdampak pada peningkatan praktik dumping produk baja dari China ke Indonesia.
Untuk diketahui, dumping merupakan praktik perniagaan tidak sehat (unfair trade) yang dilakukan suatu negara dengan cara menjual atau 'membuang' (dump) barang buatannya ke luar negeri, dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di dalam negeri. Otomatis, jika ini terjadi maka industri baja dalam negeri juga akan semakin tertekan.
Baca Juga: IKEA Desak China untuk Mengguyur Lebih Banyak Stimulus
Terkait hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan bahwa sejak beberapa bulan terakhir, pihaknya telah melihat adanya peningkatan produksi baja dari China, meski begitu Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif berharap kondisi oversuplay ini tidak berpengaruh pada industri baja dalam negeri.
"Kami memang beberapa bulan terakhir sudah mencermati adanya oversuplay di negara Tiongkok, produk-produk tertentu seperti baja, elektronik, tekstil, keramik, dan tentu juga kita berharap oversuplay disana tidak menjadi beban bagi industri dalam negeri. Tapi posisi Kemenperin untuk melindungi industri dalam negeri sehingga bisa berdaya saing yang tinggi baik di pasar domestik dan global," ungkap Febri saat ditemui Kontan, Senin (30/09).
Adapun, saat ditanya apakah BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) bisa diterapkan untuk menjegal masuknya produk baja China, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin Reni Yanita mengatakan hal ini bisa saja diterapkan namun Kemenperin tidak memiliki wewenang secara langsung untuk mengeluarkan peraturan BMAD tersebut.
"Untuk BMAD, kami menilainya kita sah-sah saja memberlakukan karena kita tau juga ada oversupplay. Tapi perlu diingat, namanya dumping juga ada penyelidikan yang butuh waktu lama. Kalau sudah BMAD tapi pengawasan kita begini saja, juga tidak terbendung juga (impornya)," jelasnya.
Ia menambahkan, peraturan terkait BMAD hanya bisa dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Tapi sekali lagi Kemenperin tidak sendiri, karena penerbitnya itu di Menteri Keuangan, ini harus punya frekuensi yang sama," tutupnya.
Sebagai tambahan, mengutip dari data Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) terdapat beberapa kasus impor baja yang melibatkan China yang tercatat dalam Sunset Review III Baja Lembaran dan Gulungan Canai Panas atau Hot Rolled Coil (HRC).
Dan saat ini terdapat beberapa produk baja asal China yang telah dan dalam proses dikenakan dengan rentang bea masuk antidumping atau BMAD dengan rentang sekitar 6%—26%.
Baca Juga: Krisis Baja China, Krakatau Steel (KRAS) Beberkan Pengaruhnya ke Perusahaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News