Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Sejak Februari lalu, buah duku banjir di sejumlah pasar di Jakarta. Di beberapa sudut jalan di Ibukota, berjajar pedagang menjajakan buah yang berasal dari Sumatera itu. Maklum, sejak bulan lalu akhir Maret nanti komoditas hortikultura itu sedang panen.
Daerah yang dikenal sebagai sentra penghasil buah duku di antaranya, Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung Barat. Dari wilayah tersebut, buah duku dipasarkan ke berbagai daerah di penjuru Tanah Air, seperti Jawa, Bali, hingga Sulawesi.
Kafi Kurnia, Ketua Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayur Segar Indonesia (ASEIBSSINDO) mengatakan, sejauh ini buah duku hanya diserap oleh pasar lokal dan belum bisa dijadikan komoditas ekspor. "Duku kita hanya bisa bertahan selama dua hari setelah dipetik, setelah itu akan muncul bintik hitam," kata dia ke KONTAN, Senin (12/3).
Dengan munculnya bintik-bintik hitam pada buah tersebut membuat kesegaran buah duku lokal berkurang. Dampaknya buah duku tersebut sudah tidak layak lagi dijual di pasar internasional.
Asal tahu saja, biasanya untuk memasarkan buah duku ke luar negeri proses pengirimannya memakan waktu empat hari. Sementara buah duku lokal kita baru dua hari saja sudah berbintik hitam.
Berbeda dengan buah duku yang berasal dari Malaysia dan Thailand. Buah duku yang berasal dari kedua negara tersebut mampu bertahan selama satu pekan sejak pertama dipetik sampai proses pengiriman berlangsung. "Di pasar Asia Tenggara misalnya Singapura, duku mereka yang menguasai pasaran," imbuhnya.
Menurut Kafi, rendahnya kualitas duku lokal lantaran perkebunan para petani masih digarap secara tradisional dan belum memanfaatkan rekayasa teknologi. Ia menghimbau, pemerintah harusnya memberikan perhatian ekstra kepada petani duku lokal. Supaya duku lokal lebih berkualitas dan petani mampu memperluas pasarnya hingga ke luar negeri. Misalnya menggelar penelitian agar buah duku lokal bisa bertahan lebih lama.
Sementara itu, Muhammad Soleh, petani buah duku asal Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan, bilang, sejauh ini telah memasarkan duku ke Pulau Jawa, seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta. "Permintaan duku untuk diekspor sampai sekarang belum ada," kata dia.
Saat ini Soleh mengelola sekitar 100 hektare perkebunan duku dengan potensi produksi mencapai 315 ton per tahun. Sejak panen pada awal Februari lalu, dia telah memasarkan buah duku sekitar 1.050 peti atau 5,25 ton per hari. Panen produksi duku miliknya akan berlangsung hingga tiga pekan ke depan.
Menurut Soleh, untuk pengiriman ke Jakarta dan Jawa Barat, harga duku dijual sekitar Rp 65.000 per peti atau seberat 15 kg. Sementara untuk pengiriman ke Surabaya, harga yang ditawarkan lebih mahal yakni mencapai Rp 70.000. "Buah duku yang dikirim ke Surabaya kualitas paling atas yang dapat bertahan selama empat hari," ujarnya.
Noviardi Kuswan, Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung, mengakui, perkebunan duku di Lampung Barat selama ini masih digarap secara tradisional dan hanya menjadi tanaman produksi sampingan milik petani.
Maklum katanya buah duku bukanlah komoditas utama penghasilan para petani di Lampung sehingga buah duku di daerah Lampung masih belum tergarap secara maksimal. Kualitas Masih Rendah, Duku Lokal Belum Mampu Tembus Pasar Ekspor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News