Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) tengah menghitung harga produk dimethylether (DME). Produk hasil dari gasifikasi batubara ini akan menjadi substitusi untuk mengurangi penggunaan dan impor Liquified Petroleum Gas (LPG).
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya bersama PTBA sudah menghitung harga produk DME sebagai substitusi LPG. Namun secara keekonomian proyek, perhitungan ini harus dibahas lebih lanjut dengan mempertimbangkan kelayakan harga batubara kalori rendah sebagai bahan baku dalam proses gasifikasi ini.
Baca Juga: Target Produksi Minyak Medco (MEDC) 2020 Naik Jadi 110 Ribu Bph
"Kita sudah berhitung sebetulnya, berapakah nanti produk dari DME itu harganya. Kita tarik mundur ke belakang di harga batubara berapa kemudian yang akan feasible," kata Nicke di Kementerian BUMN, Kamis (12/12) lalu.
Nicke menyebut, harga batubara kalori rendah untuk proyek ini bisa dihitung dengan formula yang berbeda. Sebab, kata Nicke, dalam proses gasifikasi ini batubara tidak digunakan sebagai komoditas, melainkan bahan baku energi.
Menurut Nicke, hal ini penting agar proyek bisa mendapatkan keekonomian yang layak, dan nantinya harga produk DME bisa bersaing di pasaran. "Kita lihat batubara yang low rank kalori, mungkin berbeda tidak menggunakan formula yang selama ini digunakan batubara sebagai komoditas, tapi sebagai bahan baku energi," ungkap Nicke.
Seperti diketahui, ada dua proyek gasifikasi yang dikembangkan oleh PTBA dan Pertamina. Yakni proyek yang berlokasi di Tanjung Enim dan Peranap. Di Tanjung Enim, PTBA bersama Pertamina bermitra dengan PT Pupuk Indonesia dan PT Chandra Asri Petrochemical untuk memproduksi urea, DME dan polypropylene.
Baca Juga: Bakrie & Brothers (BNBR) terus kembangkan bus listrik dan PLTS
Pabrik gasifikasi batubara ini direncanakan mulai beroperasi pada November 2022 dan diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500.000 ton urea per tahun, 400.000 ton DME per tahun, dan 450.000 ton polipropilen per tahun. Sementara kebutuhan batubara sebagai bahan baku diperkirakan sekitar 5,2 juta ton per tahun.
Kedua, di Peranap, Riau. Di sini, PTBA dan Pertamina bekerjasama dengan perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc. Produk yang dihasilkan adalah DME dan syntheticnatural gas (SNG). Pabrik gasifikasi di Peranap ini diharapkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2022 dengan kapasitas pabrik sebesar 400 ribu ton DME per tahun, dan 50 mmscfd SNG.
Nicke menegaskan, Pertamina dan PTBA akan terus memproses kedua proyek gasifikasi batubara ini. Menurut Nicke, uji kelayakan alias Feasibility Study (FS) sudah rampung kendati masih ada sejumlah aspek keekonomian proyek yang masih dalam perhitungan.
Nicke pun belum bisa memastikan di lokasi yang mana proyek gasifikasi ini akan menjadi prioritas untuk dikembangkan. "Sejak awal dua tempat, Peranap dan Tanjung Enim, kita kaji mana yang paling baik, yang itu akan kita jalankan. FS sebetulnya sudah selesai, tinggal sekarang hitung-hitungan angka saja dengan PTBA, dan bisa langsung jalan terus prosesnya," terang Nicke.
Baca Juga: Ini rencana bisnis dan ekspansi Bakrie & Brothers (BNBR) tahun depan
Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sudah berulang kali menekankan pentingnya hilirisasi tambang, termasuk batubara. Presiden Jokowi menegaskan, hilirisasi batubara mendesak untuk segera direalisasikan sebagai upaya untuk mengurangi impor LPG dan menekan defisit neraca dagang atau current account defisit (CAD).
Pasalnya, hingga saat ini sekitar 70% kebutuhan LPG Indonesia masih harus dipenuhi dengan impor. "Jadi ngapain kita impor LPG, impor petrokimia yang besar. Begitu ini muncul (hilirisasi), hilang itu defisit CAD kita," sebagaimana yang ditegaskan Jokowi di acara Indonesia Mining Association (IMA) Award 2019, beberapa waktu lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News