Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) mencatatkan kinerja keuangan yang positif di separuh pertama tahun ini. Sepanjang Semester I-2019, perusahaan minyak dan gas plat merah tersebut menorehkan laba bersih sebesar US$ 660 juta atau setara dengan Rp 9,4 triliun.
Direktur Keuangan Pertamina Pahala N. Mansury mengatakan, capaian tersebut meningkat sekitar 112% dibandingkan laba bersih pada periode yang sama tahun lalu, yang ada di angka US$ 311 juta atau sekitar Rp 4,4 triliun.
Baca Juga: Lelang WK Migas konvensional tahap II, hanya West Ganal yang mendapat pemenang
"Kenaikan laba bersih ini terutama dipicu oleh penurunan beban pokok penjualan sebesar 6% dibandingkan periode yang sama di tahun lalu," kata Pahala dalam paparan ke awak media yang digelar di Kantor Pusat Pertamina, Senin (26/8).
Pahala menerangkan, penurunan beban ini salah satunya didorong oleh harga rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) pada semester 1-2019. Rata-rata ICP pada semester 1-2018 sekitar US$ 66 per barel, sementara pada semester I tahun ini sekitar US$ 63 per barel.
Sebab, Pahala bilang bahwa komposisi terbesar dari biaya operasi perusahaan adalah minyak mentah, mengingat Pertamina memproduksi minyak mentah dan menjual bahan bakar minyak (BBM).
Kendati begitu, selain berdampak pada penurunan biaya bahan baku, Pahala mengakui kondisi itu secara bersamaan memang berpengaruh pada penurunan pendapatan. Namun karena dikombinasikan dengan efisiensi biaya operasional lainnya, Pahala menyebut biaya dapat ditekan lebih banyak lagi.
Baca Juga: Pertamina targetkan bisa tutup kebocoran sumur minyak di ONWJ Karawang pada 8 Oktober
"Turunnya ICP bisa dikatakan pendapatan sedikit turun, tapi penurunan ini lebih kecil dibanding penurunan biaya pokok penjualan. Kalau di-summary, beban pokok turun 6%, sementara pendapatan hanya turun 3%," jelas Pahala.
Ia juga mengatakan, kinerja Pertamina juga disokong oleh penurunan impor minyak mentah sebagai dampak dari penyerapan minyak mentah domestik yang semakin meningkat. Sampai dengan akhir Juli 2019, total kesepakatan pembelian minyak mentah dan kondensat dari KKKS domestik mencapai 123,6 MBCD.
"Dengan demikian, marjin juga menjadi lebih baik di kisaran 14% untuk gross profit margin dan 8% untuk operating profit margin," jelasnya.
Pahala juga menyebutkan, peningkatan kinerja Pertamina juga tercermin dari arus kas bersih dari aktivitas operasi yang makin kuat yaitu US$ 1,57 miliar. Jumlah itu meningkat sekitar dua kali lipat dari posisi semester 1 tahun lalu, yakni US$ 756 juta.
"Sehingga walaupun terdapat peningkatan pada aktivitas investasi dan pembayaran pinjaman, cash on hand tetap terjaga di level US$7,38 miliar, lebih baik daripada semester 1 tahun lalu," terang Pahala.
Baca Juga: Butuh dana, Perusahaan Gas Negara (PGAS) mengkaji rencana penerbitan obligasi
Sampai dengan akhir tahun ini, Pahala menargetkan Pertamina bisa menorehkan laba sebesar US$ 1,5 miliar- US$ 2 miliar. "Mudah-mudahan angka US$ 2 miliar bisa kami capai. Kami akan berupaya dan memacu terus untuk bisa di atas US$ 2 miliar," tutur Pahala.
Sementara itu, dari sisi kinerja operasional hulu, produksi minyak mentah Pertamina tetap digenjot naik menjadi 413 ribu barel minyak per hari (MBOPD), lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 385 MBOPD.
Terkait dengan kinerja operasional ini, Pahala mengatakan bahwa Pertamina berhasil menyelesaikan proyek strategis Proyek Langit Biru Cilacap.
Proyek senilai US$ 392 juta ini telah beroperasi dan menghadirkan BBM berkualitas di Indonesia setara dengan EURO 4 dengan total kapasitas yang meningkat mencapai 1,6 juta barel per bulan.
Baca Juga: Pendataan masih dilakukan, pembayaran ganti-rugi tumpahan minyak ONWJ mundur
Adapun, peningkatan volume penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada semester pertama tahun 2019 mencapai sebesar 34,1 juta KL. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 33,9 juta KL.
Sementara itu, untuk penjualan produk non-BBM juga mengalami peningkatan dari periode sebelumnya sebesar 7,9 juta KL menjadi 8,3 juta KL. Bahkan sejak Mei 2019, avtur dan solar sudah tidak perlu diimpor karena telah dapat dipenuhi dari produksi kilang Pertamina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News