kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Makin serius garap EBT, Bukit Asam (PTBA) masih temui sejumlah hambatan


Rabu, 14 Juli 2021 / 18:09 WIB
Makin serius garap EBT, Bukit Asam (PTBA) masih temui sejumlah hambatan
ILUSTRASI. PTBA


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

Suryo punya cara pandangnya sendiri untuk menyikapi Paris Agreement. Menurutnya perihal penghentian ekploitasi batubara harus dievaluasi ulang. "Bagaimanapun juga energi batubara saat ini merupakan energi termurah untuk PLTU sementara Indonesia masih memiliki kekayaan batubara yang cukup besar," katanya. 

Dia mengilustrasikan cara menyikapi Paris Agreement ini dengan fenomena nasi padang. Fenomena ini menceritakan tentang seorang petani yang memiliki stok padi yang cukup untuk 3 bulan, jika tidak diolah padi tersebut akan rusak dan tidak bisa dimakan. 

Untuk mengolah padi tersebut dibutuhkan biaya Rp 15.000 untuk satu kilogramnya, sementara membeli nasi padang dekat rumah yang notabene lebih enak dan bersih cukup dengan Rp 12.500 saja. Para pedagang nasi padang selalu kampanye bahwa nasi padang lebih jauh efisien dan irit. 

"Namun apa yang terjadi? Kekayaan bapak petani ini yang tadinya punya padi di gudang untuk 3 bulan ke depan jadi hangus karena tidak termanfaatkan hanya karena ingin dapat nasi padang saat itu juga yang lebih murah, tetapi kekayaan hilang," ujarnya. 

 

Menurutnya ilustrasi tersebut sama dengan fenomena batubara di Indonesia. Di satu sisi membutuhkan energi murah untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tetapi di sisi lain punya komitmen untuk Paris Agreement. 

Maka dari itu, PTBA menyodorkan konsep manajemen karbon. Jelasnya, target reduksi karbon harus diperhitungkan oleh semua instansi dan semua perusahaan. Tidak hanya sekadar menerapkan pajak karbon tetapi di internal Indonesia harus ada mekanisme transaksi kredit karbon. 

Apabila perusahaan sudah membeli kredit karbon maka pajak bisa direduksi. Di sisi lain,  pajak karbon bisa tinggi jika perusahaan tidak melakukan transaksi atau tidak berupaya mengurangi reduksi emisi karbon. 

Menurut Suryo, jika sistemnya bisa dibuat demikian, Indonesia tidak perlu menginduk ke belahan dunia lain. "Jika sudah menerapkan kredit karbon, saya yakin penurunan emisi karbon bisa diatur dengan baik dan semua lapisan perusahaan yang notabene memproduksi karbon akan tergerak sendiri untuk menurunkan emisi karbonnya," tandasnya. 

Selanjutnya: Harga batubara masih solid, emiten tambang mana yang paling diuntungkan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×