kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Masela harus harus memiliki multiplier effect


Jumat, 16 Oktober 2015 / 18:47 WIB
Masela harus harus memiliki multiplier effect


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Proyek Blok Masela sampai saat ini masih terkatung-katung. Pemerintah yang sebelumnya akan mengumumkan keputusan terkait Revisi Plan of Development (POD) 1 pada 8 Oktober 2015 terpaksa diundur hingga dua bulan ke depan guna menampung pendapat dari konsultan independen yang akan ditunjuk oleh pemerintah.

Pendapat konsultan independen tersebut akan dipertimbangkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said dalam menentukan penggunaan LNG terapung atau floating LNG/FLNG (offshore) seperti rekomendasi SKK Migas atau membangun pipa hingga Pulau Aru (onshore), seperti direkomendasikan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. 

Menanggapi polemik yang terjadi di Blok Masela, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan (IATMI), Alfi Rusin mengatakan pihaknya telah mengadakan perbicaraan dengan Kementerian ESDM pada 8 Oktober 2015 lalu mengenai masalah Blok Masela.

Dalam pembicaraan tersebut, IATMI meminta pemerintah untuk mendorong agar pilihan antara onshore dan offshore harus memiliki multiplier effect bagi masyarakat. "Sampai detik ini IATMI masih konsisten ke multiplier effect ini," ujar Alfi pada Jumat (16/10). 

Apalagi Menteri ESDM pernah menyampaikan bahwa industri minyak dan gas bumi harus bisa menggerakan pertumbuhan ekonomi. Sehingga industri migas bisa membangun industri yang lain. 

"Jadi pemerintah harus memilih mana yang memiliki multiplier effect yang lebih memancing kegiatan ekonomi. IATMI tidak memilih onshore dan offshore," terang Alfi. 

Menurut Alfi, jika memang opsi onshore bisa membangkitkan bisnis lainnya seperti pembangunan jalan atau pipa gas maka pemerintah seharusnya memilih opsi onshore.

Namun, jika opsi offshore bisa mendorong pembuatan kapal di dalam negeri maka seharusnya pemerintah memilih opsi ini. "Saya minta SKK Migas di proyek Banyu Urip. Rig harus 80% lokal konten, rignya dibangun di Batam. Kalau offshore juga harus seperti itu, lokal konten 60% misalnya,"ujar Alfi. 

Selain itu, pemerintah  juga harus mempertimbangkan agar pembangunan fasilitas tersebut bisa membuat industri lain bertumbuh. Seperti alokasi gas yang dihasilkan tidak dijual untuk kebutuhan luar negeri, tetapi dijual untuk kebutuhan dalam negeri seperti pabrik pupuk dan pembangkit listrik. 

Dengan pertimbangan tersebut, Alfi pun bilang pemerintah harus segera membuat keputusan agar proyek blok Masela tidak terkatung-katung sheingga proyek tersebut tidak jadi dikembangkan. 

"Harus mengambil keputusan. Ambil keputusan segera. Ambil konsultan jangan lama-lama disitu. Daripada debat-debat akhirnya digantung akhirnya batal semua lose lagi,"desak Alfi.

Sementara itu, mantan kepada divisi BP Migas, Sucahyo Wahyu Pratomo mengatakan awalnya Inpex ingin membangun fasilitas onshore dengan membangun pipa gas hingga Australia sepanjang 900 kilometer (KM). Namun proposal POD tersebut ditolak karena terlalu beresiko tinggi dan secara aturan pun tidak bisa dilakukan.

Selain itu onshore pun tidak mungkin dilakukan karena daerah yang di sekitar blok Masela merupakan daerah tektonik dan memiliki laut yang dalam, curam, dan berkarang. Selain itu, Pulau Aru pun tidak sesuai untuk menjadi tempat pembangunan LNG. Pembangunan LNG di darat harus memiliki wilayah minimal 500 hektar. 

"Pulau Aru dan pulau sekelilingnya kecil-kecil. Begitu juga laut yang banyak terdapat karang dan palung yang cukup berbahaya. Maka itu, studi awal menggunakan FLNG saja pada 2010 dengan menggunakan semua kajian,"kata Sucahyo. 

Menurut Sucahyo, fasilitas offshore memiliki problem yang minimal dibandingkan onshore. Selain itu, offshore lebih mudah dari sisi perizinan dibandingkan onshore dan untuk mengontrol fasilitas offshore pun lebih mudah dibandingkan onshore

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×