Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
"Seharusnya ada tambahan produksi, tapi karena ada kejadian di YYA-1 ONWJ, itu tidak jadi," sambung Dwi.
Kondisi tersebut juga berdampak pada penerimaan negara di sektor hulu migas hingga kuartal III baru mencapai US$ 10,99 miliar, atau menurun dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai US$ 11,8 miliar.
Secara target tahunan, angka US$ 10,99 miliar itu setara dengan 62,2% dari target tahun 2019 yang ditetapkan US$ 17,5 miliar. Terkait dengan penerimaan negara ini, Dwi menjelaskan bahwa hal itu juga dipengaruhi oleh Indonasia Crude Oil (ICP) yang hanya berada di angka US$ 60-an per barel, di bawah target asumsi makro APBN US$ 70 per barel.
Baca Juga: Realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) belum moncer
Kendati begitu, realisasi investasi di sektor migas hingga September 2019 tercatat US$ 8,4 miliar atau meningkat 11% dibandingkan realisasi investasi di periode yang sama tahun lalu. Namun secara target tahunan, realisasi investasi per kuartal III baru mencapai 57% dari target investasi hulu migas tahun 2019 di angka US$ 14,7 miliar.
Meski demikian, Dwi optimistis investasi di sektor hulu migas akan terus menanjak seiring dengan adanya 42 proyek utama hulu migas hingga 2027. “Investasi hulu migas ke depan akan terus meningkat mengingat hingga 2027 terdapat 42 proyek utama dengan total investasi US$ 43,3 miliar," ungkap Dwi.
Adapun, pendapatan kotor (gross revenue) dari 42 proyek tersebut diproyeksikan sebesar US$ 20 miliar dengan total produksi 1,1 juta boepd yang mencakup produksi minyak sebesar 92,1 ribu bopd dan gas sebesar 6,1 miliar kaki kubik per hari.
Baca Juga: Ingin hemat biaya, Pertamina Hulu Mahakam terapkan teknologi tanpa rig
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News