Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi lifting minyak per kuartal III 2019 dari lima anak usaha PT Pertamina masih belum mencapai target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Kelima anak usaha ini yaitu, PT Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, Pertamina Hulu Energi OSES, Pertamina Hulu Energi ONWJ, dan Pertamina Hulu Kalimantan Timur. Merujuk data SKK Migas, lifting Pertamina EP baru mencapai 80,85 ribu barel per hari (bph) atau sebesar 95,1% dari target APBN sebesar 85 ribu bph.
Sementara itu, persentase lifting Pertamina Hulu Mahakam jadi yang terkecil dibanding anak usaha Pertamina lain. Lifting PHM tercatat sebesar 36,41 ribu bph atau sebesar 72,3% dari target yang dicanangkan yaitu 50,4 ribu.
Baca Juga: Pekerjaan Sulit, Mengikis Defisit Neraca Migas
Anak usaha Pertamina lainnya yaitu, PHE OSES mencatatkan lifting sebanyak 28,41 ribu bph atau sebesar 88,8% dari target APBN sebanyak 32 ribu bph. Adapun, PHE ONWJ mencatatkan lifting sebesar 86,9% atau setara 28,74 ribu bph dari target sebesar 33,09 ribu bph.
Terakhir, Pertamina Hulu Kalimantan Timur dengan persentase realisasi lifting yang terbesar mencapai 97,7% atau setara 10,98 ribu bph dari target sebesar 11,24 ribu bph.
Mengutip catatan Kontan.co.id, hingga September, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mencatat realisasi lifting baru menyentuh 1,8 juta barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/boepd).
Baca Juga: SKK Migas paparkan kinerja hulu migas kuartal III-2019, ini progresnya
Angka itu setara dengan 90% dari target APBN sebesar 2 juta boepd. Dari jumlah tersebut, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto merinci, lifting minyak mencapai 745.000 bopd dan lifting gas sebesar 1,05 juta boepd.
Dwi menyebut, 84% dari total lifting hulu migas berasal dari sepuluh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama, antara lain ExxonMobil, Chevron, Pertamina, BP, ConocoPhilips, Eni, Medco Energi dan Petrochina. Sementara 16% sisanya disumbang oleh 80 KKKS lainnya.
Dwi menerangkan, ada sejumlah alasan yang menghambat capaian kinerja lifting migas kuartal III-2019. Setidaknya, ada tiga alasan yang Dwi terangkan. Dwi bilang, faktor pertama yang membuat lifting tertekan ialah harga gas dunia yang mengalami penurunan.
Harga gas dunia yang anjlok hingga di bawah US$ 4 per Million British Thermal Unit (MMBTU) berakibat pada pengurangan produksi gas (curtailment), terutama pada produk gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG).
Baca Juga: Arifin Tasrif jadi Menteri ESDM, berikut harapan para pemangku kepentingan energi
Alhasil, pengurangan tersebut berdampak pada penjualan kargo gas, lantaran ada pembatalan pembelian dan penundaan penjualan kargo.
Dwi menjelaskan, pengurangan produksi LNG antara lain terjadi di LNG Bontang, LNG Tangguh, dan LNG Donggi Senoro. "Harga gas dunia terpukul. Sehingga lebih baik menyimpan gas dibandingkan menjual, itu berdampak pada cutailment," kata Dwi di kantornya, Kamis (24/10).
Di samping harga gas, Dwi juga mengungkapkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera telah mengganggu produksi di Blok Rokan. Padahal, Blok Rokan menyumbang lifting minyak kedua terbesar.
Baca Juga: Berlimpah dan murah menjadi kekuatan dan potensi gas
Selain itu, Dwi juga menyoroti soal bocornya sumur YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ). Padahal, blok yang dioperatori oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) tersebut sebelumnya ditargetkan bisa menambah produksi dan lifting migas nasional.
"Seharusnya ada tambahan produksi, tapi karena ada kejadian di YYA-1 ONWJ, itu tidak jadi," sambung Dwi.
Kondisi tersebut juga berdampak pada penerimaan negara di sektor hulu migas hingga kuartal III baru mencapai US$ 10,99 miliar, atau menurun dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai US$ 11,8 miliar.
Secara target tahunan, angka US$ 10,99 miliar itu setara dengan 62,2% dari target tahun 2019 yang ditetapkan US$ 17,5 miliar. Terkait dengan penerimaan negara ini, Dwi menjelaskan bahwa hal itu juga dipengaruhi oleh Indonasia Crude Oil (ICP) yang hanya berada di angka US$ 60-an per barel, di bawah target asumsi makro APBN US$ 70 per barel.
Baca Juga: Realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) belum moncer
Kendati begitu, realisasi investasi di sektor migas hingga September 2019 tercatat US$ 8,4 miliar atau meningkat 11% dibandingkan realisasi investasi di periode yang sama tahun lalu. Namun secara target tahunan, realisasi investasi per kuartal III baru mencapai 57% dari target investasi hulu migas tahun 2019 di angka US$ 14,7 miliar.
Meski demikian, Dwi optimistis investasi di sektor hulu migas akan terus menanjak seiring dengan adanya 42 proyek utama hulu migas hingga 2027. “Investasi hulu migas ke depan akan terus meningkat mengingat hingga 2027 terdapat 42 proyek utama dengan total investasi US$ 43,3 miliar," ungkap Dwi.
Adapun, pendapatan kotor (gross revenue) dari 42 proyek tersebut diproyeksikan sebesar US$ 20 miliar dengan total produksi 1,1 juta boepd yang mencakup produksi minyak sebesar 92,1 ribu bopd dan gas sebesar 6,1 miliar kaki kubik per hari.
Baca Juga: Ingin hemat biaya, Pertamina Hulu Mahakam terapkan teknologi tanpa rig
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News