Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
Dwi menyebut, 84% dari total lifting hulu migas berasal dari sepuluh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama, antara lain ExxonMobil, Chevron, Pertamina, BP, ConocoPhilips, Eni, Medco Energi dan Petrochina. Sementara 16% sisanya disumbang oleh 80 KKKS lainnya.
Dwi menerangkan, ada sejumlah alasan yang menghambat capaian kinerja lifting migas kuartal III-2019. Setidaknya, ada tiga alasan yang Dwi terangkan. Dwi bilang, faktor pertama yang membuat lifting tertekan ialah harga gas dunia yang mengalami penurunan.
Harga gas dunia yang anjlok hingga di bawah US$ 4 per Million British Thermal Unit (MMBTU) berakibat pada pengurangan produksi gas (curtailment), terutama pada produk gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG).
Baca Juga: Arifin Tasrif jadi Menteri ESDM, berikut harapan para pemangku kepentingan energi
Alhasil, pengurangan tersebut berdampak pada penjualan kargo gas, lantaran ada pembatalan pembelian dan penundaan penjualan kargo.
Dwi menjelaskan, pengurangan produksi LNG antara lain terjadi di LNG Bontang, LNG Tangguh, dan LNG Donggi Senoro. "Harga gas dunia terpukul. Sehingga lebih baik menyimpan gas dibandingkan menjual, itu berdampak pada cutailment," kata Dwi di kantornya, Kamis (24/10).
Di samping harga gas, Dwi juga mengungkapkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera telah mengganggu produksi di Blok Rokan. Padahal, Blok Rokan menyumbang lifting minyak kedua terbesar.
Baca Juga: Berlimpah dan murah menjadi kekuatan dan potensi gas
Selain itu, Dwi juga menyoroti soal bocornya sumur YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ). Padahal, blok yang dioperatori oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) tersebut sebelumnya ditargetkan bisa menambah produksi dan lifting migas nasional.