Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggunaan bahan bakar dengan RON rendah yang berakibat memburuknya kualitas udara ternyata berdampak buruk terhadap pasien yang terpapar Covid-19. Terutama kelompok rentan.
Penelitian Departemen Biostatistik Harvard, T.H. Chan School of Public Health berjudul “Exposure to air pollution and Covid-19 mortality in the United States” yang tulis Xiao Wu dan dipublikasikan New England Journal of Medicine, menyebut, tingkat polusi udara tinggi sebelum pandemi, berdampak buruk ke pasien, bahkan lebih parah bisa mengalami kematian.
Disebutkan dalam riset, pasien yang mengalami paparan jangka panjang PM2.5, 15% lebih mungkin mengalami kematian akibat Corona dibanding mereka yang hidup di suatu daerah dengan kualitas udara lebih baik.
Baca Juga: Pertamina menghadirkan Pertamax Turbo di Bangka Belitung
Menurut WHO dan penelitian pasien SARS-Cov-1 pada 2003 menemukan, pasien yang tinggal di lingkungan dengan polusi udara tinggi, dua kali lebih mungkin meninggal dibanding mereka yang memiliki kualitas udara baik. Bahkan, di daerah tingkat pencemaran sedang, risiko kematian mereka 84% lebih tinggi.
Di Indonesia sendiri, Badan Tenaga Nuklir Nasional atau BATAN, dalam penelitian soal polusi udara, telah mengambil sampel beberapa kota, seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
Dari belasan kota yang diteliti itu, BATAN mencatat bahwa konsentrasi timbal Pb tertinggi ada di Surabaya, Tangerang dan Jakarta. Kandungan timbal Pb dari polusi udara di ketiga daerah itu tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
Padahal, berbagai riset lembaga internasional menunjukkan bahwa polutan timbal (Pb) bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan manusia saja, tapi juga dapat mempengaruhi kecerdasan anak-anak.
Peneliti Senior BATAN Muhayatun Susanto mengatakan, selama ini pemantauan kualitas udara biasanya dilakukan terhadap CO, SO2, Nox, O3 dan PM10 (partikulat yang berukuran kurang dari 10 mikrometer) sebagai dasar untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Padahal di udara juga terdapat partikulat yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer, yang dikenal dengan PM-2,5.
Polutan partikulat PM-2,5 dinilai lebih berbahaya karena ukurannya yang kecil sehingga mampu menembus bagian terdalam dari paru-paru.