Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
Padahal, di kuartal pertama dan awal kuartal dua, harga minyak dunia sempat jatuh di bawah level US$ 10 per barel. Seiring masih volatilnya pergerakan harga minyak dunia, MEDC berusaha menerapkan kebijakan yang fleksibel. Hal ini memungkinkan MEDC untuk bisa menanggapi perubahan kondisi pasar yang kerap kali tidak terduga.
Karena itu pula MEDC lebih selektif menjalani bisnis di tahun 2020. Misalnya dengan menunda investasi jangka pendek atau proyek yang sifatnya tidak mendesak ketika harga minyak dunia berada di level yang rendah. “Tetapi kami tetap mempertahankan kemampuan kami untuk meningkatkan aktivitas siklus pendek ketika harga minyak kembali pulih,” ujar Anthony.
Baca Juga: Sejumlah emiten berburu dana lewat rights issue di tengah pandemi Covid-19
Fleksibilitas kebijakan bisnis yang diterapkan MEDC juga berpengaruh pada alokasi belanja modal atau capital expenditure (capex) perusahaan di tahun ini yang ditetapkan sebesar US$ 240 juta. Angka tersebut lagi-lagi merupakan hasil revisi karena sebelumnya MEDC menyediakan capex sebesar US$ 340 juta.
Nantinya, MEDC akan menggunakan US$ 180 juta dari capex di tahun ini untuk kegiatan bisnis migas, sedangkan sisanya sebesar US$ 60 juta untuk menunjang bisnis ketenagalistrikan.
Jika dibedah lebih jauh, dari total capex bisnis migas sebesar US$ 180 juta di tahun ini, MEDC akan menggunakan dana sebesar US$ 117 juta untuk proyek PSC, sedangkan US$ 21 juta untuk proyek non-PSC. Adapun dana yang tersisa sebesar US$ 42 juta akan digunakan MEDC untuk kegiatan eksplorasi.
Guna menopang modal kerja di tahun ini, MEDC hendak melakukan rights issue atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) sebanyak 7,5 miliar saham. MEDC pun telah meminta persetujuan atas aksi korporasi tersebut saat Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) bulan lalu. “Besaran dana perolehan rights issue akan ditentukan setelah kami menetapkan harga pelaksanaannya,” ujar Anthony.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News