Reporter: Adrianus Octaviano, Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, sejumlah orang kaya Indonesia dikabarkan diam-diam memindahkan aset mereka ke luar negeri.
Mereka tampaknya kurang yakin dengan kondisi ekonomi Indonesia di tengah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang baru menjabat pada bulan Oktober 2024 lalu.
Seperti diberitakan Bloomberg News beberapa waktu lalu, ada ratusan juta dolar Amerika Serikat (AS) yang berpindah ke luar negeri sejak Prabowo memegang tampuk kekuasaan.
Baca Juga: 10 Juta Orang Kaya Doyan Belanja di Luar Negeri, Ekonomi Indonesia Bisa Merugi
Hal itu didasarkan pada wawancara Bloomberg terhadap sejumlah manajer investasi, banker, penasiehat dan sejumlah orang kaya Indonesia.
Seorang banker swasta mengungkapkan bahwa beberapa kliennya dengan kekayaan antara US$ 100 juta hingga US$ 400 juta atau sekitar Rp 1,68 triliun hingga US$ 6,72 triliun (kurs Rp 16.800) telah mengkonversi sekitar 10% aset mereka dalam kripto. Utamanya, stablecoin USDT milik Tether Holdings.
Pemindahan aset kripto ini dinilai lebih mudah dilakukan dalam jumlah besar tanpa pengawasan yang ketat. Selain kripto, orang-orang tajir Indonesia juga memindahkan kekayaan mereka dalam bentuk emas dan properti.
Kaburnya aset para konglomerat Indonesia ke luar negeri ditengarai masih akan berlanjut di tengah kekhawatiran mereka terhadap disiplin fiskal pemerintahan Prabowo dan stabilitas ekonomi nasional.
Keluarnya arus modal orang-orang kaya Indonesia ini diduga jadi salah satu penyebab mata uang rupiah tertekan pada 9 April 2025 lalu yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Selain itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga tertekan dalam dan sempat berada di bawah level 6.000 setelah lebaran 2025.
Baca Juga: 10 Juta Orang Kaya Doyan Belanja di Luar Negeri, Ekonomi Indonesia Bisa Merugi
Beberapa konglomerat Indonesia dikabarkan melarikan aset mereka ke Timur Tengah, utamanya Dubai dengan mendirikan perusahaan cangkang yang digunakan dalam membeli real estate.
Saat ini, Timur Tengah menjadi tujuan primadona bagi aset warga Indonesia karena mereka ingin menghindari pengawasan ketat perbankan Singapura.
Adapun kebijakan pemerintah yang menjadi kekhawatiran mereka menurut Bloomberg adalah sejumlah program ekonomi Prabowo yang dinilai sulit tercapai.
Misalkan Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% yang dinilai sulit tercapai. Kalau target pertumbuhan ekonomi ini dipaksakan, maka diperlukan belanja pemerintah besar-besaran yang berpotensi meningkatkan defisit fiskal, kenaikan utang, kenaikan pajak dan meroketnya inflasi.
Baca Juga: Orang Kaya Indonesia Khawatir Kebijakan Prabowo, Pindahkan Kekayaan ke Luar Negeri
Selain itu, upaya Prabowo memperluas peran militer juga menjadi kekhawatiran tersendiri, ditambah upaya membawa perusahaan-perusahaan BUMN lebih dekat ke dalam pengaruhnya untuk mendukung program-program populisnya.
Data Pasar Keuangan
Terkait hal ini, jika melihat data pasar keuangan, sejumlah aset tampak mengalami penurunan, seperti Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) maupun reksadana. Per Februari 2025 tercatat KPD turun 6,65% sejak awal tahun menjadi Rp 279,62 triliun.
Sementara itu, reksadana turun 1,01% sejak awal tahun menjadi Rp 479,65 triliun per 27 Maret 2025.
Meski demikian, jumlah simpanan perbankan untuk nomimal di atas Rp 5 miliar justru tumbuh 3,4% sejak awal tahun sampai Februari 2025. Selain itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan juga tercatat meningkat. DPK Perbankan tercatat tumbuh 5,75% secara tahun dan 1% sejak awal tahun.
General Manager Divisi Wealth Management PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBNI), Henny Eugenia mengungkapkan fakta berbeda dengan temuan Bloomberg bahwa aset nasabah Wealth Management di BNI justru tumbuh positif.
Baca Juga: Rp 324 Triliun Menguap Gegara 10 Juta Orang Kaya Doyan Belanja di Luar Negeri
Dalam hal ini, ia membandingkan, tabungan segmen emerald yang tumbuh 16% dan juga Asset Under Management (AUM) investasi yang tumbuh 18% pada Maret 2025.
Tak hanya itu, ia juga menyebutkan bahwa jumlah nasabah segmen emerald juga tumbuh 10% pada Maret 2025. Menurutnya, ini merupakan pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada segmen private bank.
“Untuk satu tahun terakhir ini trennya masih dominan ke obligasi baik dari nasabah emerald maupun nasabah ritel, untuk reksadana saham saat ini masih terbatas kepada nasabah tertentu dengan profil yang lebih agresif,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Consumer Funding & Wealth Business Head Bank Danamon Ivan Adrian Jaya menegaskan pihaknya belum melihat adanya indikasi untuk kecenderungan pemindahan dana ke luar negeri.
Sejak awal tahun sampai dengan Maret 2025, DPK Danamon masih bertumbuh secara kuartalan di kisaran 2% hingga 4%.
Tak hanya itu, Ivan juga belum melihat adanya indikasi permintaan untuk memindahkan aset ke pasar keuangan di luar negeri. Ini tercermin dalam dana kelolaan wealth management Danamon yang sepanjang 2025 bertumbuh sebesar 10%, dengan pertumbuhan terbesar ada di produk obligasi.
Baca Juga: Orang Kaya Indonesia Khawatir Kebijakan Prabowo, Pindahkan Kekayaan ke Luar Negeri
Meski demikian, pihaknya memang melihat adanya penurunan pertumbuhan dana kelolaan reksadana yang dikarenakan sikap nasabah secara umum yang masih mencoba untuk wait and see di tengah gejolak pasar yang terjadi.
“Namun arus dana masuk masih ada, seiring dengan valuasi yang menarik yang disebabkan oleh penurunan harga aset seiring volatilitas yang ada,” ujar Ivan.
Peluang Relokasi Aset Tetap Ada
Meski demikian, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan bilang walaupun yang terjadi adalah semacam realokasi aset, bukan berarti potensi pemindahan dana ke luar negeri tidak akan terjadi.
Menurutnya, ini bisa saja terjadi melalui reksadana global, atau mendirikan perusahaan di luar negeri, family office, atau skema transfer pricing tergantung preferensi masing-masing nasabah.
“Artinya mereka juga sudah memiliki rekening atau investasi di luar negeri, itu memudahkan untuk pengalihan dana,” ujarnya.
Baca Juga: Wanita Terkaya di Indonesia Ini Kehilangan Rp 60 Triliun Hanya dalam Tiga Hari
Sementara itu, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan fenomena ini sebagai bentuk pelarian modal tidak hanya merugikan stabilitas ekonomi nasional, tetapi juga mencerminkan rendahnya semangat nasionalisme dan tanggung jawab sosial dari kalangan elite ekonomi.
"Lebih dari itu, ini adalah bentuk ketidak-loyalan terhadap upaya bangsa Indonesia menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global," ujar Achmad.
Achmad menduga bahwa kelompok para taipan yang melarikan modal ke luar negeri adalah mereka yang berbisnis di sektor komoditas dan finansial. Mereka ini dikenal memiliki pengaruh besar di sektor ekspor komoditas primer seperti kelapa sawit, batubara, nikel dan karet.
Selanjutnya: Sentimen Negosiasi Dengan AS Membayangi Gerak IHSG Hari Ini, Senin (21/4)
Menarik Dibaca: Resep Kimchi dengan Bahan Lokal, Makanan Khas Korea yang Baik untuk Pencernaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News