kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti Kejelasan Regulasi Perdagangan Karbon dari Pemerintah


Minggu, 21 Agustus 2022 / 21:15 WIB
Menanti Kejelasan Regulasi Perdagangan Karbon dari Pemerintah
ILUSTRASI. Tujuan utama dari perdagangan karbon adalah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sistem perdagangan karbon yang dirancang dengan baik untuk tujuan kepentingan publik domestik dapat memberikan manfaat tambahan lingkungan dan sosial.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hampir semua pelaku usaha mengakui saat ini masih menanti peraturan lebih rinci dalam pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia Fajar Budiono mengatakan, selama ini agenda menurunkan emisi sudah dijalankan setiap tahunnya oleh pengusaha secara sukarela karena memang pihaknya dituntut untuk melaksanakan dekarbonisasi.

Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai cara seperti penghematan energi, beralih dari bahan bakar fosil ke gas, dan mengganti mesin-mesin yang menghasilkan emisi lebih rendah.

Fajar bilang, industri petrokimia hulu sudah siap menurunkan karbon emisinya, hanya saja pihaknya masih menunggu perincian bagaimana assesment-nya seperti sampai di level berapa batasan emisi karbon industri dalam negeri dibandingkan dengan negara lain. Kemudian emisi yang dihasilkan secara standar industri sejenis ini batasannya seperti apa.

Baca Juga: Serius Pangkas Emisi, Indonesia Siapkan Bursa Karbon, Begini Tahapannya

“Tentukan dulu roadmapnya standar berapa, assesment dilakukan, baru dapat dilihat nanti kekuatan dan kelemahan di mana, ini akan dianalisa terlebih dahulu dan harus melibatkan pelaku industri,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (21/8).

Menurut Fajar, sampai dengan saat ini pengukuran emisi untuk menjalankan perdagangan karbon masih belum jelas secara kuantitatif, tetapi sebatas kualitatif saja. Maka itu, upaya yang dilakukan oleh pelaku usaha juga belum dapat maksimal.

Pasalnya dalam industri petrokimia hulu-hilir ada tiga hal penting yang berkontribusi besar dalam Beban Pokok Penjualan (BPP) yang juga  menentukan besaran emisi yang akan diproduksi, yakni bahan baku, konsumsi energi, dan logistik.

Dari sisi energi, saat ini industri sudah bisa menghemat konsumsi listriknya tanpa menurunkan produktivitas. Namun persoalan besar ada dari sisi logistik. Fajar mengakui saat ini aktivitas distribusi masih menggunakan truk yang menggunakan solar subsidi (emisinya tinggi).

Sedangkan kalau menggunakan standar euro 4, harga bahan bakar solarnya seperti Dexlite sudah di atas Rp 16.000 per liter.

“Nanti dampak ke logistiknya sampai di mana, ini harus dihitung, percepatan dan hitungan ini timeline-nya (harus) jelas, kapan dan berapa standarnya. Paling berat nanti di logistik dan sumber energi listrik,” kata Fajar.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indroyono Soesilo mengatakan, berkaitan dengan perdagangan karbon, pengusaha sektor perhutanan mengacu pada UU No 16 Tahun 2016 Tentang Ratifikasi Kesepakatan Paris, utamanya Pasal 5 Tentang Result Based Payment dan Pasal 6 Tentang Perdagangan Karbon Internasional Business to Business. Lalu turunannya ada Perpres No 98 Tahun 2021, Tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Baca Juga: BKF: Skema Pasar Karbon Termasuk Peraturan Teknisnya Masih Terus Dimatangkan

“Sekarang kami tinggal menunggu turunan implementasi dari Perpres No 98 Tahun 2021, yaitu Permen LHK tentang NDC dan Permen LHK tentang Nilai Ekonomi Karbon, mudah-mudahan bisa segera terbit,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Sembari menunggu, anggota APHI harus sudah bersiap untuk memulai menghitung baseline serapan karbon dan melaksanakan Aksi Mitigasi guna mendapatkan angka serapan karbon yang kemudian bisa diverifikasi.

Di sisi lain, Perdagangan Karbon adalah bagian dari Multi Usaha Kehutanan Sesuai UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, jadi ini memang bagian dari transformasi industri kehutanan.  

Nah, untuk mencapai Net Sink Forest & Other Land Uses (FOLU) 2030, sesuai Updated NDC target misalnya, dibutuhkan biaya US$ 14 miliar, di mana US$ 8 miliar di antaranya harus dipenuhi dari investasi sektor swasta. “Oleh sebab itu, sektor usaha kehutanan sedang bersiap siap menunggu regulasi yang akan segera terbit,” tegasnya.

Setali tiga uang, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, perdagangan karbon sebagai salah satu instrumen baru di Indonesia perlu diatur secara benar.  

“Sejauh ini sudah ada aturan Penyelenggaraan Nilai Karbon dalam Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 namun memerlukan peraturan pelaksana yang sedang digodok pemerintah khusunya mekanisme-mekanisme teknis serta pembentukan badan pengelola pasar karbon secara resmi,” ujarnya.

Adapun, sejauh ini uji coba cap and trade yang pernah dilakukan pada sejumlah PLTU dinilai cukup positif untuk dikembangkan lebih lanjut. APLSI menyambut baik serta turut berperan aktif dalam upaya2 dekarbonisasi.

“Perdagangan karbon yang diatur secara benar dapat menjadi insentif bagi para pengembang untuk melakukan dekarbonisasi dan realokasi investasi dalam mendukung Net Zero Emission,” tandasnya.

Baca Juga: Melihat Negara Lain, Pasar Karbon Sebaiknya Dilakukan di Bursa Berjangka Komoditi

Implementasi perdagangan karbon

Sejumlah pihak mewanti-mewanti pemerintah sebelum perdagangan karbon dijalankan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia Fajar Budiono menambahkan, jangan sampai produk impor tidak dikenakan aturan yang sama.

“Jangan sampai industri dalam negeri dikenakan macam-macam aturan tetapi impor tidak. Itu tidak fair. Jadi awal mula kalau bisa diterapkan dulu saja ke produk impor,” ujarnya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia M. Iqbal Damanik menyatakan bahwa perdagangan karbon merupakan skema perusahaan dalam melakukan greenwashing.

Maka itu, pihaknya menolak adanya model perdagangan karbon karena tetap memberikan celah bagi poluter untuk memproduksi emisi dengan dalih sudah melakukan penanaman dan penghijauan di tempat lain.

“Kami mendorong mekanisme lain, yakni penerapan pajak karbon yang masih digodok pemerintah soal pelaksanannya dan Result-Based Payment (RBP)  atau kewajiban negara-negara pengemisi yakni di Utara untuk memberikan bantuan pada negara-negara Selatan atau yang berhutan untuk tetap menjaga hutannya,” jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×