kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Mengembalikan potensi bibit sapi lokal


Senin, 09 Maret 2015 / 12:13 WIB
Mengembalikan potensi bibit sapi lokal
ILUSTRASI. Menteri ESDM meminta Pertamina melepas atau mengkerjasamakan sumur-sumur yang pengoperasiannya tidak optimal


Reporter: Mona Tobing | Editor: Hendra Gunawan

PADANG MENGATAS. Barangkali, Anda tak pernah tahu atau bahkan tak pernah mendengar nama Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Hijauan Pakan Ternak (HPT) Padang Mengatas di Sumatera Barat.

Padahal, di lokasi inilah, pernah menjadi salah satu pusat pembibitan ternak sapi terbesar di Asia Tenggara. Hanya saja, pasca masa reformasi, berbagai kemegahan yang sempat dibangun pemerintah orba itu lenyap, tak berbekas.

Maklum, lahan dan bangunan habis dijarah masyarakat setempat. Wajah itu  kini berubah menjadi pemukiman dan lahan tidak terurus.

Padahal, daerah ini telah menjadi pusat pembibitan ternak sapi lokal sejak tahun 1916 dan sempat menjadi kebanggaan mantan Presiden Soeharto.

Dengan luas lahan 280 hektare (ha), BPTU Padang Mengatas berlokasi di kaki Gunung Sago Kabupaten Payakumbuh, Sumatera Barat. Ini adalah ladang penggembalaan sapi lokal yang sempat menjadi pusat pembelajaran peternakan dari negara tetangga. Bahkan, dengan bibit sapi t itu pula, Indonesia tercatat bisa ekspor daging sapi ke Malaysia dan Hong Kong.

Sayang, itu semua hanya tinggal kenangan. Begitu rezim orde baru jatuh, tanah milik pemerintah pusat ini justru dikuasai masyarakat setempat. Sampai akhirnya, pada 2011 silam Kementerian Pertanian (Kemtan) mengambil alih lahan ini dan mengembalikan fungsinya sebagai pusat pembibitan sapi nasional.

Sugiono, Kelapa BPTU HPT Padang Mengatas bercerita, 2011 lalu , tempat ini hanya memiliki 144 ekor sapi dengan sapi dan 12 ekor sapi segera beranak. Sambil bercanda, dia menyebut bahwa jumlah karyawannya lebih banyak dibandingkan jumlah sapi yang dimiliki BPTU HPT saat ity.

"Sapinya kurus di kandang. Lalu kondisi lingkungan sangat kotor. Saya punya tugas berat yakni melipatgandakan sapi dan menghadapi masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk meminta mereka meninggalkan lahan ini. Saya berkeras untuk menjadikan lahan ini kembali sebagai padang penggembalaan," kenang Sugiono.

Di tangan Sugiono, BPTU HPT Padang Mengatas berevolusi. Selain berhasil mengembalikan aset tanah untuk dijadikan ladang penggembalaan.

Hanya dalam waktu tiga tahun, BPTU HPT transformasi menjadi sentra peternakan sapi terintegrasi satu-satunya di Indonesia. Dalam kawasan tersebut ada pusat pembibitan  dan penggemukan yang dilakukan peternak rakyat, serta Rumah Potong Hewan (RPH) modern.

Saat ini BPTU HPT Padang Mengatas memiliki 40 petak lahan dengan masing-masing luas lahan sebesar 5 ha. Jumlah sapi terus naik tiap tahunnya. Pada tahun 2011 jumlah sapinya 144 ekor dan pada tahun 2015 ini meningkat menjadi 935 ekor.

Mayoritas jenis sapi yang dikembangkan adalah sapi simmental, yakni sapi 'blesteran' asal Swiss yang kemudian dikawin silang dengan sapi lokal seperti: Sapi Bali dan Sapu Simbra. Jumlah sapi simmental  mencapai 500 ekor.

Selain itu, di tempat ini juga dikembangkan sapi limousin asal Prancis yang juga telah mengalami kawin silang dengan sapi lokal. Ada sekitar 250 ekor sapi limousin. Terakhir, sapi lokal yakni sapi pesisir asli tanah minang sebanyak 185 ekor.

Sugiono mengatakan, kunci keberhasilan pembibitan sapi terletak pada manajemen sapi, pakan yang bagus dari rumput tanpa konsentrat dan pengawasan hingga sapi melahirkan.

Kualitas bibit sapi yang dihasilkan BPTU HPT Padang Mengatas ini diakui Ketua Kelompok Tani Sapi Ganto Perak, Subladung Nagari. Menurutnya, menggunakan bibit asal BPTU PHT membuat harga sapi penggemukan yang dijualnya terbilang tinggi. Untuk jenis sapi blasteran harganya mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per ekor dan sapi lokal sebesar Rp 15 juta per ekor.

Syukur Iwantoro, Direkur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kemtan menambahkan, selama ini pihak swasta masih enggan masuk pada sektor pembibitan sapi ini. Sebab, investasinya mahal berupa lahan luas.

Selain itu, butuh waktu lama untuk mendapatkan hasil untuk pembibitan, yakni  sekitar satu tahun. Berbeda dengan usaha penggemukan sapi yang hanya butuh waktu sekitar empat sampai enam bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×