kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45887,73   13,33   1.52%
  • EMAS1.365.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik Dampak Isu Kesehatan Terhadap Kinerja Industri Minuman Ringan


Rabu, 19 Juni 2024 / 19:34 WIB
Menilik Dampak Isu Kesehatan Terhadap Kinerja Industri Minuman Ringan
ILUSTRASI. Industri minuman ringan, khususnya minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), kembali diterpa isu miring


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri minuman ringan, khususnya minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), kembali diterpa isu miring yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini berpotensi mempengaruhi kinerja industri tersebut sepanjang 2024 berjalan.

Sebelumnya, kelangsungan bisnis minuman manis terancam oleh rencana pemerintah yang akan menerapkan regulasi cukai MBDK mulai tahun 2024. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus menggodok aturan cukai tersebut dan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain.

Belum selesai urusan dengan regulasi cukai, industri minuman manis kembali menghadapi sentimen negatif yaitu adanya beberapa pelaku usaha ritel yang mulai memperkuat pengawasan terhadap kandungan gula pada produk-produk minuman.

Baca Juga: Penerapan Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis Berpotensi Molor ke Tahun Depan

Sebagai contoh, akhir Januari 2024, Super Indo meluncurkan Indikator Kandungan Gula pada produk minuman dalam kemasan. Indikator ini bertujuan mengajak konsumen untuk mengontrol konsumsi gula harian dan membantu konsumen dalam mengambil keputusan ketika mengkonsumsi makanan atau minuman.

Super Indo akan memasang indikator kandungan gula pada seluruh gerainya di Indonesia yang terbagi dalam lima kategori, yaitu jus, minuman siap saji, minuman ringan, isotonik, dan air minum dalam kemasan.

Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Indonesia (Asrim) Triyono Prijosoesilo berpendapat, pada dasarnya isu kesehatan terkait penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes merupakan tanggung jawab seluruh pihak. Sebab, PTM timbul oleh berbagai faktor seperti gaya hidup, pola konsumsi makanan dan minuman, genetik, dan tingkat aktivitas fisik.

"Salah rasanya kalau melihat isu kesehatan ini hanya karena produk minuman," kata dia, Rabu (19/6).

Asrim menyebut, pelaku industri minuman sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya dalam membantu mengelola risiko PTM di kalangan masyarakat. Misalnya, edukasi melalui pemberian label informasi nilai gizi, termasuk kandungan gula, pada tiap produk minuman siap saji.

Pihak produsen juga aktif melakukan upaya reformulasi dengan menawarkan produk-produk rendah gula, bahkan hingga bebas gula, untuk memenuhi permintaan konsumen.

Proyeksi Kinerja

Terlepas dari itu, sentimen negatif terkait isu kesehatan bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja industri minuman ringan, khususnya minuman berpemanis. 

Asrim sendiri menganggap industri minuman ringan nasional masih berada di posisi konservatif dari sisi prospek usaha. Pertumbuhan penjualan minuman ringan nasional diperkirakan berada di kisaran 3% hingga 5% pada 2024. Dalam catatan KONTAN, tahun lalu industri ini mencatatkan pertumbuhan volume penjualan sebesar 3,1%.

"Harapan kami, pertumbuhan industri ini akan berkelanjutan dan dirasakan oleh seluruh kategori minuman ringan atau siap saji," imbuh Triyono.

Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil dan pelemahan daya beli masyarakat tentu jadi faktor utama yang dapat menghambat kinerja industri minuman ringan. Terlebih lagi, minuman ringan terutama berpemanis sebenarnya bukan produk kebutuhan primer.

Baca Juga: Menakar Sikap Juragan Minuman atas Kebijakan Minuman Berpemanis

Di samping itu, pelemahan kurs rupiah hingga ke level lebih dari Rp 16.000 per dolar AS juga menjadi perhatian bagi Asrim. Meski sebagian besar bahan baku produk minuman berasal dari dalam negeri, tidak dipungkiri masih ada beberapa material yang diimpor seperti bahan baku jus, bahan perasa, hingga aluminium untuk bahan kemasan.

Apabila pelemahan rupiah terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan industri minuman ringan harus beradaptasi dengan menaikkan harga jual produk sekitar 5% hingga 10%, tergantung dari kategori dan kemasannya.

"Kami berharap pelemahan rupiah bersifat temporer, sehingga industri minuman ringan tidak perlu melakukan penyesuaian harga," tandas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×