kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.707.000   -1.000   -0,06%
  • USD/IDR 16.310   25,00   0,15%
  • IDX 6.803   14,96   0,22%
  • KOMPAS100 1.005   -3,16   -0,31%
  • LQ45 777   -4,08   -0,52%
  • ISSI 212   1,22   0,58%
  • IDX30 402   -2,62   -0,65%
  • IDXHIDIV20 484   -3,58   -0,73%
  • IDX80 114   -0,52   -0,46%
  • IDXV30 119   -0,94   -0,79%
  • IDXQ30 132   -0,40   -0,30%

Menilik Untung Rugi RI Ekspor Listrik Hijau ke Singapura


Minggu, 16 Februari 2025 / 18:20 WIB
Menilik Untung Rugi RI Ekspor Listrik Hijau ke Singapura
ILUSTRASI. PLTS Terapung Cirata: Suasana PLTS Terapung Cirata , JAwa Barat, Kamis (25/7/2024). PLTS seluas 200 hektare ini mampu memproduksi energi hijau berkapasitas 192 Megawatt peak (MWp) untuk menyuplai listrik bagi 50 ribu rumah dan mampu mengurangi emisi karbon sebesar 214 ribu ton per tahun. KONTAN/Baihaki/25/7/2024


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, penjualan listrik ke Singapura sudah disepakati oleh kedua negara, sejak periode pak Jokowi.

"Ini adalah kesepakatan ekonomi kedua negara yang perlu dihargai. Ini perjanjian perdagangan," kata Fabby kepada Kontan, Minggu (16/2).

Menurut Fabby, Indonesia bisa mendapatkan beberapa manfaat, di antaranya mendapatkan pembayaran listrik dari kontrak jangka panjang, sehingga menjadi devisa untuk Indonesia.

Kedua, pembangkitnya ada di Indonesia, yang punya JV perusahaan Indonesia, sehingga mendapatkan pajak perusahaannya. Ketiga, mendapatkan industri solar cell & module, ESS. Hal ini mendukung perkembangan industri di Indonesia.

"Terakhir, mendapatkan investasinya untuk proyek ini. Investasi energi terbarukan mendukung pertumbuhan ekonomi," ungkap Fabby.

Fabby menambahkan, yang dilakukan Menteri ESDM dengan tidak membuat keputusan menyebabkan ketidakpastian investasi, meningkatkan persepsi risiko investasi energi terbarukan di Indonesia.

Selain itu Indonesia juga berpotensi kehilangan investasi sel dan modul surya dan battery yang dapat meningkatkan investasi industri teknologi energi terbarukan. Jadi Indonesia akan dirugikan dengan sikap Menteri ESDM ini.

Baca Juga: Tumbuh 4,75%, Kemenperin Yakin Industri Manufaktur Terus Jadi Tulang Punggung Ekonomi

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam mengingat masih rendahnya bauran energi terbarukan di Indonesia.

"Sebenarnya untuk jual listrik atau ekspor listrik ke Singapura ini memang ada beberapa kelemahannya. Indonesia sendiri masih memiliki bauran energi terbarukan yang rendah," kata Bhima kepada Kontan, Minggu (16/2).

Menurut Bhima, jika Indonesia buru-buru mengekspor listrik ke Singapura, ini seolah tidak sinergis dengan kebutuhan energi dalam negeri. Apalagi, Indonesia masih membutuhkan tambahan 75 gigawatt energi terbarukan sesuai dengan komitmen pemerintahan Prabowo ke depan.

Bhima menerangkan, Indonesia sendiri masih kekurangan energi terbarukan untuk kebutuhan domestik, sehingga kebijakan ekspor harus dipertimbangkan dengan matang.

Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa proyek carbon capture and storage (CCS) yang akan dikembangkan Singapura di Indonesia bisa menjadikan Indonesia sebagai 'importir sampah karbon' dari negara maju.

"Ini menjadi pertanyaan besar, apakah Indonesia akan menjadi tempat pembuangan emisi karbon dari industri Singapura? Risiko lingkungan dari proyek CCS ini sangat tinggi, terutama karena Indonesia merupakan negara yang rawan gempa. Jika terjadi kebocoran gas dari fasilitas CCS, dampaknya bisa sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar lokasi proyek," jelasnya.

Selain itu, Bhima juga mempertanyakan apakah proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia untuk kebutuhan ekspor akan memberikan manfaat bagi industri dalam negeri.

Menurutnya, perlu ada jaminan transfer teknologi dan keterlibatan industri dalam negeri dalam produksi komponen PLTS yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

"Kalau tidak ada transfer teknologi dan keterlibatan industri dalam negeri dalam produksi PLTS, maka Indonesia tidak akan mendapatkan keuntungan dari ekspor listrik ini," tutur Bhima.

Selain itu, ada isu bahwa Singapura dan Malaysia berencana membangun kawasan ekonomi khusus di Johor. Jika ekspor listrik hanya sekadar menyuplai kebutuhan industri di kawasan tersebut tanpa ada industrialisasi di Indonesia, maka kita hanya akan menjadi penyedia sumber daya tanpa manfaat lebih.

Namun demikian, Bhima juga mengakui ada potensi manfaat dari ekspor listrik ke Singapura, terutama dalam hal pemasukan devisa yang bisa memperkuat nilai tukar rupiah.

Selain itu, jika negosiasi dilakukan dengan baik, surplus listrik dari proyek ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan domestik, khususnya di Sumatra, yang berpotensi mendorong pertumbuhan kawasan ekonomi di wilayah tersebut.

"Sekarang yang paling penting adalah bagaimana proses negosiasinya dilakukan agar ada solusi win-win bagi Indonesia dan Singapura. Termasuk, nilai tambah yang diharapkan dari industrialisasi komponen PLTS, sistem transmisi, dan penyimpanan energi harus benar-benar menguntungkan posisi Indonesia," katanya.

Bhima juga menekankan rencana ekspor ini masih berada dalam tahap penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan belum sampai pada tahap kontrak. Oleh karena itu, renegosiasi masih memungkinkan jika Indonesia merasa belum mendapatkan manfaat yang seimbang. 



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×