Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kemenko Maritim dan Investasi terus berupaya mendorong program hilirisasi tambang mineral. Salah satu tujuan utama hilirisasi tersebut adalah berkembangnya industri baterai kendaraan listrik nasional.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B. Panjaitan mengatakan, sudah berpuluh-puluh tahun Indonesia hanya mengekspor hasil tambang sebagai bahan baku atau raw material saja, tanpa tahu apa saja produk turunan yang bisa dioptimalkan dari hasil tambang tersebut.
Sebagai contoh, berdasarkan data Kemenko Marves, tahun 2018 ekspor bijih nikel Indonesia mencapai 19,25 juta ton dengan harga US$ 31 per ton. Alhasil, nilai ekspor bijih nikel yang diperoleh Indonesia saat itu sebesar US$ 612 juta.
Baca Juga: Aturan Turunan UU Minerba Tahun 2020 bakal Mendongkrak Besaran Royalti Pertambangan
Padahal, jika bijih nikel diolah menjadi beberapa produk turunan seperti stainless steel slab, maka hal itu bisa memberikan nilai tambah secara signifikan.
Luhut menyebut, Indonesia sudah mengekspor stainless steel slab dengan volume sebesar 3,85 juta ton atau senilai US$ 6,24 miliar. Berarti produk tersebut dihargai sebesar US$ 1.602 per ton.
“Bijih nikel yang diproses menjadi stainless steel slab dapat meningkatkan nilai ekspor 10,2 kali lipat,” ungkap dia dalam webinar, Sabtu (25/7) sore.
Tak hanya nikel, Luhut juga menyebut bahwa hilirisasi juga dilakukan pada produk tambang lainnya seperti bauksit. Tahun 2018 lalu, Indonesia mengekspor 8,65 juta ton bauksit senilai US$ 263 juta dengan harga US$ 30 per ton.
Nilai ekspor bisa meningkat 3,95 kali lipat ketika yang dijual adalah produk turunannya yaitu alumina. Indonesia sudah mengekspor alumina sebanyak 3,46 juta ton dengan harga US$ 300 per ton atau senilai US$ 1,03 miliar.
Indonesia juga mengekspor produk turunan alumina, yaitu aluminium ingot sebanyak 1,73 juta ton dengan harga US$ 1.700 per ton atau senilai US$ 2,94 miliar. Peningkatan nilai ekspor dari alumina menuju aluminium ingot mencapai 2,8 kali lipat.
“Dulu Indonesia hanya ekspor bauksit saja. Sekarang kita sudah di tahap bangun smelter grade alumina yang bisa hasilkan aluminium ingot sampai produk elektrikal dan komponen otomotif,” papar Luhut.
Belum cukup, hilirisasi juga dilakukan pada produk tembaga yang diimplementasikan melalui pembangunan smelter tembaga di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Tembaga yang diolah dapat menghasilkan asam sulfat yang berguna untuk pembuatan baterai lithium.
Luhut mengaku, pemerintah punya visi agar program hilirisasi seperti nikel, bauksit, termasuk tembaga bisa saling terintegrasi sehingga menghidupkan industri baterai lithium yang tak lain merupakan komponen terpenting kendaraan listrik.
Baca Juga: Kementerian ESDM: PP turunan UU Minerba paling lambat selesai pada Desember 2020
Kata Luhut, negara-negara Eropa sudah berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil di tahun 2030. Sedangkan di periode 2025—2027, diperkirakan pengguna kendaraan listrik akan semakin meningkat. Hal ini yang membuat program hilirisasi tambang dan pembangunan smelter mineral begitu penting untuk dilakukan secepat mungkin.
“Cadangan mineral pembuatan baterai lithium di Indonesia sangat melimpah. Kita bisa menjadi pemain utama di industri komponen kendaraan listrik,” jelasnya.
Dia turut berharap, ke depan Indonesia juga akan menghasilkan baterai lithium yang bisa didaur ulang. Dengan begitu, Indonesia bisa menghemat cadangan mineral yang ada sekaligus menghindari risiko kerusakan lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News