Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
Indonesia juga mengekspor produk turunan alumina, yaitu aluminium ingot sebanyak 1,73 juta ton dengan harga US$ 1.700 per ton atau senilai US$ 2,94 miliar. Peningkatan nilai ekspor dari alumina menuju aluminium ingot mencapai 2,8 kali lipat.
“Dulu Indonesia hanya ekspor bauksit saja. Sekarang kita sudah di tahap bangun smelter grade alumina yang bisa hasilkan aluminium ingot sampai produk elektrikal dan komponen otomotif,” papar Luhut.
Belum cukup, hilirisasi juga dilakukan pada produk tembaga yang diimplementasikan melalui pembangunan smelter tembaga di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Tembaga yang diolah dapat menghasilkan asam sulfat yang berguna untuk pembuatan baterai lithium.
Luhut mengaku, pemerintah punya visi agar program hilirisasi seperti nikel, bauksit, termasuk tembaga bisa saling terintegrasi sehingga menghidupkan industri baterai lithium yang tak lain merupakan komponen terpenting kendaraan listrik.
Baca Juga: Kementerian ESDM: PP turunan UU Minerba paling lambat selesai pada Desember 2020
Kata Luhut, negara-negara Eropa sudah berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil di tahun 2030. Sedangkan di periode 2025—2027, diperkirakan pengguna kendaraan listrik akan semakin meningkat. Hal ini yang membuat program hilirisasi tambang dan pembangunan smelter mineral begitu penting untuk dilakukan secepat mungkin.
“Cadangan mineral pembuatan baterai lithium di Indonesia sangat melimpah. Kita bisa menjadi pemain utama di industri komponen kendaraan listrik,” jelasnya.
Dia turut berharap, ke depan Indonesia juga akan menghasilkan baterai lithium yang bisa didaur ulang. Dengan begitu, Indonesia bisa menghemat cadangan mineral yang ada sekaligus menghindari risiko kerusakan lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News