Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada momen Kemerdekaan RI yang ke 76 ini, peternak rakyat masih berjuang dalam kemerdekaan usahanya. Kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) diambang kehancuran karena usaha ayam broiler (ayam pedaging) terus tertekan dengan harga ayam panen (livebird) di bawah Harga Pokok Produksi (HPP).
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Ali Usman, mengatakan, pada pertengahan bulan Juli 2021 lalu, harga livebird dilevel Rp 8.000 per kilogram (kg), sedangkan HPP Rp 19.000 - 21.000 per kg sesuai Permendag No. 7 Tahun 2020. Indikasinya karena pasokan ayam di hulu berlebih, sedangkan permintaan di hilir masih stagnan.
Menurutnya, perkembangan bisnis ayam broiler ini sangat pesat bahkan overpopulation yang mengakibatkan pemusnahan anak ayam Final Stock (DOC FS). Pemerintah dalam hal ini, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Ditjen PKH, Kementan) melakukan intervensi pemangkasan produksi.
Pengendalian oversupply/overstock ini melalui Cutting Hatching Egg (HE) umur 19 hari dan afkir dini ayam Parent Stock (PS) dengan jumlah besar setiap dua minggu sekali dalam program berjalan setiap bulannya.
Baca Juga: Kementan sebut alokasi impor GPS sudah sesuai kalkulasi
Pemusnahan ayam tersebut dilakukan atas intervensi pemerintah dalam rangka menjaga supply-demand dengan harapan terangkatnya harga ayam hidup (livebird) yang selama ini merugikan peternak rakyat.
Pasalnya perusahaan besar yang terintegrasi juga berbudidaya baik internal farm dan exsternal farm melalui kemitraannya. Meskipun harga livebird berfluktuasi, tetapi bagi integrator kerugian dapat diminimalisir karena memproduksi DOC FS dan pakan secara mandiri.
"Artinya sapronak lebih murah dibanding peternak rakyat yang ketergantungan," ujar Ali dalam keterangannya, Senin (16/8).
Ia melanjutkan, peternak selama ini membeli sarana produksi ternak (sapronak) tersebut kepada perusahaan tetapi sebagian penyedia sapronak tersebut juga melakukan intervensi budidaya unggas.
Dengan penguasaan sektor budidaya oleh integrator, secara tidak langsung mereka menguasai pasar becek yang ada di pasar tradisional. Sehingga berpotensi melakukan intervensi hulu hilir, baik pengadaan kuota impor ayam GPS (Grand Parent Stock), penjualan DOC FS, pakan hingga livebird.
Berdasarkan data Ditjen PKH, prognosa ketersediaan DOC broiler 2021 mencapai 3.6 miliar ekor sedangkan kebutuhan hanya 2.9 miliar sehingga potensi kelebihan produksi mencapai 758 juta ekor.
Baca Juga: Upaya pengendalian produksi DOC berdampak pada perbaikan harga livebird di peternak
Sehingga didapatkan data prognosa ketersediaan karkas broiler sepanjang 2021 adalah 4 juta ton sedangkan kebutuhan 3.1 juta ton, dengan neraca 835 ribu ton. Sementara angka konsumsi ayam pada tahun 2020 menurut BPS 12.79 kilogram per kapita per tahun.
Pergerakan angka konsumsi tidak sejalan dengan perubahan produksi yang melimpah, karena harga ayam di tingkat konsumen akhir relatif mahal. Anehnya harga livebird di tingkat peternak cenderung berfluktuasi bahkan mencapai Rp 8.000 per kilogram.
Pola konsumsi berubah sedang naik atau turun, makanya pemerintah perlu menghitung ulang berapa impor GPS yang dibutuhkan di masa pandemi hingga mendatang. Terbukti angka konsumsi menurun, maka dilakukan cutting pasokan melalui HE, untuk menciptakan keseimbangan supply-demand.
Berdasarkan data, Ditjen PKH Kementan realisasi impor GPS broiler pada tahun 2015 untuk 15 perusahaan importir GPS sebesar 621.723 ribu ekor. Pasalnya pada tahun 2018 kuota impor GPS meningkat menjadi 797.092 ekor dan sedikit turun pada tahun 2019 menjadi 707.000 ekor.
Meningkatnya kuota impor GPS berkorelasi dengan mencuatnya oversupply dan anjloknya harga livebird mencapai Rp 7.000 per kilogram di tingkat peternak. Tidak sedikit peternak rakyat gulung tikar akibat mengalami kerugian yang berkepanjangan.
Pentingnya pemerintah kalkulasi GPS dengan baik dan benar supaya tidak terjadi overstock di berbagai tingkatan perusahaan. Hak dan kewajiban peternak skala Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) juga diberikan kuota GPS supaya tidak tergantung kepada integrator.
Terutama bagaimana pemerintah menghapus kuota GPS atas insentif ekspor kepada sejumlah perusahaan. Sebab kegiatan ekspor hanya sebagai simbolik, artinya tidak berkelanjutan.
Baca Juga: Pinsar menyebut harga ayam di tingkat peternak mulai stabil
Untuk menjawab tantangan, supaya oversupply masih bisa dikendalikan tetapi tidak melakukan program cutting HE-19 (aborsi) atau afkir dini ayam PS. Maka
pemerintah perlu melibatkan seluruh stakeholder perunggasan nasional baik pelaku industri, peternak dan akademisi untuk menghitung kuota impor GPS sesuai kebutuhan.
Dengan pendekatan angka konsumsi ayam di masyarakat, sehingga dapat diketahui berapa sebenarnya kebutuhan ayam GPS yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk diberikan kepada masing-masing perusahaan sesuai kebutuhan atau market masing masing-masing.
Selain itu, untuk menjaga pasokan berlebih sejauh mana perusahaan berkewajiban dalam membangun cold storage dan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) sebagai kartu pengaman jika harga livebird jatuh.
Sehingga pasokan dapat dikendalikan supaya harga tetap terjaga diatas HPP. Tidak hanya itu, bagaimana peran pemerintah membantu industri perunggasan dari sisi penyerapan ayam untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia yang rendah gizi. Sehingga sejalan dengan program pemberantasan stunting.
Selanjutnya: Peternak desak pemerintah kendalikan produksi agar harga ayam potong tetap terjaga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News