Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Tendi Mahadi
Selain itu, kondisi yang menantang ini juga menggerus laba kotor Perseroan sebesar 76,11% atau menjadi US$ 23,98 juta YoY.
Sementara untuk rencana pengembangan kapasitas produksi baja, progres pembangunan fisik untuk pabrik hot strip mill 2 telah mencapai 94,49% pada Juni 2019.
Seiring dengan selesainya pembangunan HSM2 ini kuartal II 2019, kapasitas pengerolan baja untuk produk HRC meningkat menjadi 3,9 juta ton per tahun.
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Siap Melepas Tiga Anak Usaha untuk IPO
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, tantangan yang sangat nyata dihadapi adalah adanya impor baja yang masih tinggi menghantam industri baja nasional.
“Impor baja masih dominan dan menekan industri baja dalam negeri. Tingkat utilisasi produksi HRC saat ini masih di bawah 50%, karena porsi impor masih cukup dominan dalam pemenuhan baja domestik”, ujar Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam keterangan pers, Minggu (4/8).
Dihimpun dari data The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada tahun 2018, jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton.
Baca Juga: Bekasi Fajar Industrial Estate (BEST) genjot penjualan tanah di paruh kedua
Bahkan komoditas besi dan baja tercatat sebagai komoditi impor terbesar ke-3, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai US$ 10,25 miliar (Badan Pusat Statistik, 2018).
“Data dari Badan Pusat Statistik, pada Januari - Maret 2019, jumlah impor besi dan baja meningkat 14,75% secara year on year menjadi 2,76 Milyar USD. Kenaikan impor produk tersebut menjadi yang terbesar keempat”, imbuh Silmy.