Reporter: Agus Triyono |
BANDUNG. Keinginan pemerintah untuk mengompensasi penurunan kinerja ekspor dengan mendorong peningkatan nilai tambah produk ekspor, tampaknya, tidak akan mudah terwujud. Sebab, kemampuan industri dalam negeri untuk memberi nilai tambah produk ekspor masih sangat rendah.
Lukito Dinarsyah Tuwo, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mamaparkan, berdasarkan data Bappenas, jumlah unit usaha yang memiliki kemampuan untuk berinovasi dan meningkatkan nilai tambah produk ekspor tidak terlalu besar, hanya sekitar 6% dari unit usaha yang ada. Mayoritas industri belum bisa menciptakan nilai tambah produk yang besar.
Kalaupun ada, kemampuan inovasinya terbatas. "BUMN industri strategis saja sampai saat ini untuk melakukan inovasi baru tahap konsolidasi," kata Lukito, kemarin.
Ia menjelaskan, kemampuan industri melakukan inovasi produk yang masih rendah tak lepas dari iklim industri di Indonesia yang buruk. "Buruknya kualitas dan kuantitas infrastruktur mempengaruhi kondisi industri di Indonesia," imbuh Lukito.
Prasetijono Widjojo, Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, menambahkan, selain mendorong peningkatan nilai tambah produk ekspor, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk kembali menggenjot ekspor Indonesia. Caranya adalah dengan memperluas akses ekspor ke beberapa pasar non tradisional yang potensial.
Menurut Prasetijono, ada beberapa pasar baru yang bisa dilirik Indonesia. Di antaranya Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Karibia, Timur Tengah, Eropa Timur, Asia Selatan, dan juga Oceania.
Berdasarkan catatan Prasetijono, pangsa pasar ekspor Indonesia ke sejumlah wilayah tersebut masih sangat kecil. Ambil contoh ke Afrika baru sekitar 3,76% dari total ekspor. Pun begitu pangsa pasar ekspor ke Oceania baru 0,33% dan Karibia 0,22%.
Catatan saja, kinerja ekspor Indonesia dalam kurun waktu dua bulan terakhir merosot. Sebaliknya, impor melaju kencang. Akibatnya neraca peradagnagn Indonesia semakin menyempit. Bahkan dalam dua bulan terakhir yakni April dan Mei 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit, masing-masing sebesar
US$ 945,1 juta dan US$ 336,7 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News