kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Minim regulasi, penelitian soal produk rendah risiko perlu digencarkan


Jumat, 07 Agustus 2020 / 21:00 WIB
Minim regulasi, penelitian soal produk rendah risiko perlu digencarkan
ILUSTRASI. Pekerja meracik cairan rokok elektronik (vape) di industri kawasan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (26/11/2019). Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia akan mendorong pembuatan good manufacturing proccess terkait proses produksi cairan nikotin murni


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

Prof Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO yang juga Profesor di Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura (NUS) mengatakan, risiko dan bahaya ENDS lebih rendah 90%-95% daripada rokok konvensional yang dibakar.

“Vaping itu tembakaunya nggak dibakar. Pembakaran itu yang menyebabkan pelepasan zat-zat beracun yang ada di asap rokok. Vaping itu uap, bukan asap,” ucap Tikki.

Baca Juga: Realisasi penerimaan Bea Cukai hinga Juni tumbuh 45,32%

Tikki mengaku kurang sependapat bila dikatakan pemakaian vape mengakibatkan kondisi kesehatan memburuk.

“Jadi kesalahannya bukan kepada vaping, tetapi kenyataannya ialah penggunaan cairan vape yang terkontaminasi oleh berbagai zat-zat yang dibeli di black market, dan itu adalah Tetrahydrocannabinol (THC) dan vitamin E Asetat,” papar Tikki.

Prof Tikki mengatakan, keberadaan vape sebagai produk alternatif akan sulit didukung tanpa penelitian yang memadai. Padahal, kata dia, sejumlah penelitian di negara-negara maju telah membuktikan bahwa kehadiran vape mampu menjadi alternatif bagi para perokok konvensional.

Yang mesti menjadi perhatian bersama adalah minimnya kajian dan penelitian lokal dalam mengkaji dampak dan risiko produk alternatif seperti vape, di mana hal ini akan berkontribusi dalam merancang peraturan terkait vape di Indonesia.

"Meskipun ANDS tersedia di Indonesia, namun belum ada kerangka regulasi yang komprehensif dalam mengatur produk-produk tersebut," ungkapnya.

"Akibat dari kurangnya regulasi, perokok dewasa tidak memiliki akses kepada lebih banyak produk alternatif, yaitu produk yang menghantarkan nikotin dan berpotensi menimbulkan risiko lebih rendah bagi perokok dan lingkungannya," sambungnya.

Sementara itu, karena kurangnya penelitian lokal, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap ANDS, seperti vape/rokok elektrik, sama bahayanya, atau bahkan lebih berbahaya daripada rokok konvensional.

Tikki menyarankan agar penelitian mengenai ANDS harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan dalam industri produk nikotin alternatif, seperti pemerintah, pakar kesehatan, akademisi, pelaku bisnis, dan asosiasi.

Penelitian diperlukan, kata Tikki, sebagai bahan pertimbangan Pemerintah nantinya dalam mengambil sebuah kebijakan.

"Penelitian penting dilakukan untuk argumentasi ke pemerintah sebagai dasar dalam membuat kebijakan," tandasnya.

Sementara itu, Ali Ghufron Mukti, Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur dan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional mengatakan, saat ini pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah berinisiatif untuk mengembangkan standar bagi produk-produk ANDS, mulai dari produk Tembakau Dipanaskan di tahun 2020, dan dilanjutkan dengan produk vape pada tahun 2021.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×