kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Minimnya permintaan listrik jadi tantangan pengembangan EBT di timur Indonesia


Minggu, 07 Maret 2021 / 16:47 WIB
Minimnya permintaan listrik jadi tantangan pengembangan EBT di timur Indonesia
ILUSTRASI. Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Selasa (2/2/2021). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) pada wilayah timur Indonesia menemui tantangan pada minimnya demand atau permintaan listrik dalam jumlah besar khususnya sektor industri.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengungkapkan rendahnya kebutuhan listrik membuat potensi EBT yang potensial di kawasan Indonesia Timur sulit dioptimalkan. "Kebutuhan energi di kawasan itu yang relatif rendah menyebabkan pemanfaatan energi terbarukan tidak bisa berkembang," kata Surya kepada Kontan.co.id, Jumat (5/3).

Surya menambahkan, tantangan pengembangan EBT juga muncul dari minimnya infrastruktur termasuk infrastruktur ketenaglistrikan. Oleh karena itu, Surya menilai langkah opsional yang bisa ditempuh yakni dengan mengubah pola perencanaan pembangunan kawasan seperti kawasan ekonomi dan kawasan industri.

Baca Juga: Nilai kerjasama pasokan LPG Pertamina dan ADNOC capai Rp 28 triliun

"Sebaiknya pembangunan kawasan ekonomi dan kawasan industri ke depan harus memperhatikan ketersediaan energi terbarukan sebagai pemasok kebutuhan energi kawasan itu," jelas Surya.

Ia mengungkapkan jika selama ini sumber energi akan disediakan ditempat dimana telah ada kawasan ekonomi dan kawasan industri, maka popa ini diubah. Nantinya pengembangan kawasan ekonomi bakal bergantung pada lokasi sumber energi.

"Sekarang kita balik. Namanya lebih dikenal dengan istilah REBED (Renewable Energy Based Economic Development) dan REBID (Renewable Energy Based Industry Development)," lanjut Surya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan demand listrik yang minim membuat pengembangan EBT pada wilayah timur masih didominasi pembangkit EBT skala kecil.

"Misalnya di Flores NTT, yang punya kapasitas panas bumi sampai 1.000 MW, permintaan listrik pada waktu siang hari tidak besar. Ini membuat perkembangan panas bumi di Flores pun menjadi terkendala karena demand listrik rendah," jelas Fabby.

Baca Juga: Dubai Ports dan Maspion akan bangun pelabuhan peti kemas senilai US$ 1,2 miliar

Fabby menambahkan, pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) perlu mempercepat rencana substitusi pembangkit diesel dengan pembangkit ET serta disaat bersamaan memperkuat jaringan listrik untuk menjangkau seluruh rumah tangga dan menciptakan permintaan-permintaan baru.

Sebelumnya, tercatat pemerintah mempunyai sejumlah upaya pengembangan EBT di wilayah timur Indonesia.

Salah satunya lewat taman panel surya. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan, konsep pembangunan solar park merupakan bagian dari pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar di lahan yang luas.

"Kami merencanakan bangun solar park, seperti yang ada di Abu Dhabi (Uni Emirat Arab), Portugal, dan Arab Saudi. Satu hamparan besar isinya solar panel saja," jelasnya dalam siaran pers di situs Kementerian ESDM seperti dikutip Kontan.co.id, Sabtu (16/1).

Nantinya, lokasi pengembangan solar park akan dipusatkan di Indonesia Timur dengan memanfaatkan wilayah-wilayah yang kering, memiliki radiasi sinar matahari yang bagus, dan cerah hujan rendah. "Makin ke timur, khususnya di daerah-daerah yang kering, sinar matahari bagus, jarang hujan," ungkap Dadan.

Rencana pengembangan ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan jumlah PLTS secara masif. Kementerian ESDM mencanangkan target peningkatan kapasitas PLTS mencapai 17.687 Mega Watt (MW) pada tahun 2035.

Baca Juga: Pertamina dan Adnoc teken kerjasama untuk jamin pasokan LPG

Sementara itu, Kementerian ESDM mengungkapkan potensi teoritis energi surya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 66 GW.

"Potensi energi surya di Nusa Tenggara Timur sangat besar dengan tingkat radiasi tinggi, curah hujan jarang jadi kalau kita lihat potensi teoritis bisa 66 ribu MW," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam diskusi virtual, Rabu (3/3).

Arifin menjelaskan, dari total potensi 66 GW maka potensi teknis energi surya mencapai hampir 10 GW atau sekitar 9,9 GW. Arifin memastikan pengembangan PLTS memang bakal jadi tumpuan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) beberapa tahun ke depan. "Kita fokus dengan PLTS karena sekarang bisa ditawarkan dengan harga murah terutama PLTS yang hybrid dengan PLTA," jelas Arifin.

Selanjutnya: Pertamina Hulu Rokan siap tuntaskan 113 perizinan alih transisi Rokan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×