Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. MNC Group makin serius menggarap proyek infrastruktur. Rencananya Oktober nanti, lewat anak usaha PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA), perusahaan milik Harry Tanoesoedibjo ini siap memulai pengerjaan ruas jalan tol Ciawi–Sukabumi.
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham IATA ini membeli pengelolaan ruas jalan tol tersebut dari Grup Bakrie pada 2012. Ruas tol ini akan menjadi proyek jalan tol ketiga yang digarap IATA tahun ini. "Dalam waktu dekat kami akan mulai mengerjakan jalan tol Ciawi–Sukabumi sampai ke Lido," kata Syafril Nasution, Direktur Utama Indonesia Transport & Infrastruktur kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Proyek jalan tol yang terdiri dari empat seksi ini bakal dimulai dari seksi I antara Ciawi sampai Gombong sepanjang 15 kilometer (km). Saat ini ruas tersebut masih dalam proses pembebasan lahan. Oktober 2014 nanti pembebasan lahan diharapkan sudah mencapai 90%. Setelah itu bisa berlanjut ke tahap pengerjaan konstruksi.
Namun, hingga kini, Indonesia Transport masih belum memutuskan siapa perusahaan kontraktor yang bakal mengerjakan proses konstruksi. Tapi ada kemungkinan, kata Syafril, pengerjaan konstruksi seksi I proyek jalan tol ini bakal dikerjakan IATA sendiri. "Nilainya sekitar Rp 1,5 triliun," imbuhnya.
Ruas jalan tol Ciawi–Sukabumi merupakan proyek ketiga dari konsesi jalan tol yang dimiliki MNC Group. Konsesi pertama adalah jalan tol Kanci–Pejagan yang beroperasi sejak 2010. Kedua, ruas jalan tol Pejagan–Pemalang yang proses konstruksinya baru saja dimulai oleh PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dengan opsi dibeli kembali.
Adapun pengerjaan ruas jalan tol terakhir, Pasuruan–Probolinggo baru akan terlaksana tahun depan. Saat ini, manajemen IATA masih berusaha membebaskan lahan di sepanjang ruas jalan tol di Jawa Timur tersebut.
Siap garap bandara
Langkah IATA memacu bisnis jalan tol ini sebagai upaya mendongkrak kinerja perusahaan. Memasuki pertengahan tahun, kinerja keuangan perusahaan ini masih belum berhasil menunjukan tajinya.
Kinerja IATA di semester I tahun ini turun tipis sekitar 4,46% menjadi US$ 12,77 juta ketimbang periode serupa tahun lalu yang sebesar US$ 13,34 juta.
Dampaknya kerugian IATA pun berlipat. Semester I 2013 kerugian IATA mencapai US$ 2,13 juta, dan periode yang sama tahun ini melompat menjadi US$ 4,67 juta. "Kami memang mengalami penurunan karena berakhirnya kontrak dengan Total E & P Indonesia April lalu," ujar Syafril.
Penurunan itu tampak dari kontribusi pendapatan dari jasa kontrak pesawat carteran yang dioperasikan IATA. Semester I 2013, bisnis ini mengantongi pendapatan
US$ 12,41 juta. Periode sama 2014 cuma US$ 10,19 juta.
Meski begitu, Syafril optimistis pendapatan IATA bisa membaik di kuartal berikutnya. Saat ini, katanya, pihaknya tengah mengejar kontrak sewa pesawat dari beberapa perusahaan migas seperti ENI Indonesia dan Santos Indonesia. Nilai kontrak yang diincar sekitar US$ 40 juta.
Meski rapor masih merah semester I lalu, kinerja keuangan IATA masih bisa terselamatkan setelah pendapatan dari pengoperasian pelabuhan batubara di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan bisa tercatat di semester satu ini. Meski dua pelabuhan tersebut baru digunakan sekitar 60%–70%, tetapi sudah berhasil menyumbang 6,07% atau sekitar US$ 776.080 ke pendapatan konsolidasi perseroan di periode tersebut.
Terkait ekspansi bisnis lainnya, IATA tengah mempersiapkan diri mulai masuk lini bisnis pembangunan bandara. Tanpa merinci lebih lanjut, menurut Syafril, saat ini ia tengah menjalin pembicaraan intensif dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang, Kalimantan Timur.
Menurutnya, bila pemerintah setempat sudah siap melaksanakan pembebasan lahan di areal proyek bandara yang masih dirahasiakan, pihaknya bisa langsung mengerjakan proyek tersebut. "Pokoknya MNC Group akan fokus ke proyek infrastruktur," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News