kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mobil LLGC tak bisa tekan konsumsi BBM bersubsidi


Rabu, 25 September 2013 / 17:42 WIB
Mobil LLGC tak bisa tekan konsumsi BBM bersubsidi
ILUSTRASI. Berikut kesalahan yang kerap terjadi saat menata dan mendekorasi rumah dengan konsep terbuka atau open space.


Reporter: Umar Idris, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Pekan lalu, dunia otomotif nasional dikagetkan oleh peluncuran tiga mobil murah Toyota Agya, Daihatsu Ayla, dan Hondra Brio Satya.Ketiga mobil ini akhirnya menggelinding di jalanan, setelah hampir satu tahun menanti kepastian regulasi. Ketiga mobil buatan pabrikan asal Jepang tersebut kini mulai dijajakan di pasar Indonesia.

Toyota Agya dan Daihatsu Ayla sejatinya telah diluncurkan pada pameran otomotif nasional, September 2012 silam. Toyota maupun Daihatsu juga sudah membuka daftar pemesanan ke pengunjung pameran, waktu itu. Namun produksi maupun penjualan mobil ini belum terlaksana karena belum adanya regulasi.

Menjadi pertanyaan mengapa pemerintah yang lama terkesan ragu dan lamban, akhirnya menyetujui proyek mobil massal ini? Perlu dicatat, persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbit pada 23 Mei 2013, namun baru disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada Juni 2013. Pada saat yang bersamaan pemerintah memastikan kenaikan harga BBM bersubsidi 22 Juni 2013.

Keputusan Presiden ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap kendaraan bermotor. Pemerintah menurunkan PPnBM mobil jenis LCGC menjadi 0% dari sebelumnya sekitar 20% hingga 30%. “Penurunan dari tarif semula bervariasi, bukan dari 75%,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Soemantri Brodjonegoro.

Dalam ketentuan pemerintah, kapasitas mesin mobil ini dibatasi antara 1.000 cc hingga 1.200 cc. Selain itu, pemerintah menetapkan mobil ini harus mampu menempuh jarak antara 20 km–22 km dengan seliter bensin. Dengan jangkauan jarak per liter sejauh itu, pabrikan otomotif menjanjikan, bahan bakar yang cocok dipakai hanyalah yang memiliki tingkat RON 92, atau setara Pertamax.

Ketetapan lain adalah harga dasar LCGC Rp 95 juta. Harga itu belum termasuk biaya balik nama, pajak kendaraan bermotor, dan pajak daerah. Pemerintah memberikan toleransi kenaikan harga hingga 15% untuk penambahan teknologi transmisi otomatis, dan toleransi untuk penambahan fitur amananan, seperti airbag, antilock braking system, sebesar 10% dari harga dasar.

Sumber di Kementerian Perindustrian yang tidak mau disebut identitasnya mengungkapkan, kepastian tentang proyek mobil murah muncul karena pemerintah tidak memiliki cara lain untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi. Tak heran jika kebijakan ini dibuat bersamaan dengan kenaikan harga BBM bersubsidi. “Tidak ada kaitannya dengan trade off kepada Jepang dalam menangani krisis,” kata si sumber.

Kementerian Keuangan membenarkan keputusan pemerintah didasari pertimbangan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. “Mobil ini dikatakan tidak akan memakai premium, tapi nonsubsidi, jadi ini bisa menekan anggaran subsidi,” tutur Bambang.

Motivasi lain terungkap di dalam dokumen berjudul Kebijakan Insentif PPnBM untuk Pengembangan Mobil Harga Terjangkau dan Hemat Energi, setebal 26 halaman. Dokumen ini mengungkapkan Kementerian Perindustrian mendesak mobil LCGC untuk menjaga pasar otomotif di dalam negeri dari serbuan produk mobil murah dari luar negeri. Pembicaraan ini terungkap dalam diskusi terfokus (focus group discussion) pada 30 September 2011.

Desakan ini disampaikan karena potensi pasar mobil LCGC di Indonesia sekitar 300.000 unit hingga 600.000 unit per tahun. Terungkap pula bahwa Kementerian Perindustrian meminta penurunan tarif PPnBM untuk mobil LCGC jenis sedan sebesar 15%, dari 30% menjadi 15%, dan dari 10% menjadi 0% untuk jenis mobil MPV.

Dengan insentif sebesar 15% untuk LCGC jenis sedan, pemerintah harus merelakan Rp 192 miliar untuk insentif LCGC. Sedang untuk LCGC jenis MPV, dengan insentif sebesar 10%, maka nilai penerimaan PPnBM yang dikorbankan mencapai Rp 608 miliar. Jadi, total pengorbanan pemerintah untuk memberikan insentif LCGC adalah Rp 800 miliar.

Rawan pelanggaran

BKF enggan membenarkan dokumen ini. Namun BKF membenarkan nilai kehilangan pemasukan negara dari kebijakan mobil LCGC akibat mengurangi PPnBM. “Pemasukan negara yang dikorbankan dari kebijakan ini tidak banyak, nilai PPnBM selama setahun bahkan tak sampai Rp 1 triliun,” terang Bambang.

Bandingkan pengorbanan ini dengan nilai investasi yang dijanjikan oleh para produsen otomotif. Kementerian Perindustrian, seperti tertera dalam dokumen BKF, mengklaim ada tambahan investasi baru senilai US$ 1,6 miliar. Masing-masing: Toyota US$ 200 juta, Daihatsu US$ 400 juta, Suzuki US$ 800 juta, dan Nissan US$ 200 juta.

Sampai di situ kebijakan mobil murah masih enak di dengar. Namun potensi masih terbuka lebar, di luar skenario pemerintah. Di samping kemacetan yang akan semakin mengular di kota besar, konsumsi BBM bersubsidi dapat meningkat drastis karena pemilik mobil LCGC memakai premium, bukan Pertamax sebagaimana spesifi kasi mobil ini. Alhasil, pemerintah harus merogoh kocek dalam
untuk mengimpor minyak.

Potensi ini sangat mungkin terjadi. Lihat saja, sistem pengawasan pemerintah pusat belum jelas. Kementerian Keuangan yang berkepentingan dengan penyelamatan anggaran masih belum bisa menjelaskan bagaimana mengurangi risiko ini. “Mengenai pengawasan, itu bukan wilayah kami, kami tidak mengerti mesin. Itu wewenang Kementerian Perindustrian,” kata Bambang.

Produsen mobil mengatakan tidak memiliki wewenang jika mobil LCGC sudah berada di tangan konsumen. Jika pemilik mobil tetap meminum premium, mereka tak bisa melarangnya. “Itu di luar wewenang kami, ini wilayah pemerintah,” kata Yulian Warman, Kepala Hubungan Publik PT Astra International Tbk.

Pengamat transportasi dari Universitas Trisakti Eryus Amran Koto meragukan pemerintah mampu mengawasi pemberlakuan aturan itu dengan baik. “Kita semua tahu, apabila terjadi pelanggaran yang kemudian diungkap ke publik, pemerintah paling hanya melontarkan janji untuk mengecek atau memperbaiki,” kata Eryus.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 51 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×