Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk mempercepat penerapan kebijakan Zero Over Dimension Overload (Zero ODOL) di wilayahnya mulai Januari 2026 dinilai terlalu tergesa-gesa.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menegaskan bahwa penyelesaian masalah truk ODOL tidak bisa dilakukan secara parsial oleh daerah karena menyangkut sistem logistik nasional yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
“Kalau tiba-tiba diterapkan pada Januari 2026 itu tidak mungkin. Banyak hal yang harus disiapkan terlebih dahulu,” ujar Wakil Ketua Umum MTI Djoko Setijowarno dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025).
Menurut Djoko, kebijakan ODOL sudah disepakati akan diberlakukan secara nasional pada Januari 2027 melalui koordinasi lintas kementerian dan asosiasi industri logistik. Upaya daerah untuk menerapkan kebijakan lebih cepat justru bisa menimbulkan ketidaksinkronan kebijakan antarwilayah.
“Transportasi logistik itu urusan nasional. Kalau setiap daerah bikin aturan sendiri, maka arus logistik antarwilayah akan terganggu. Kepala daerah tidak bisa bertindak di luar kebijakan Menteri Perhubungan,” tegas Djoko yang juga Dosen Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata.
MTI menilai penerapan ODOL yang tidak seragam dapat memicu hambatan arus barang dari satu provinsi ke provinsi lain. Distribusi bahan baku dan hasil produksi industri pun berisiko tersendat jika aturan di setiap wilayah berbeda.
Baca Juga: Kemenhub Percepat Pembentukan Tim Tangani Truk Odol, Ini Tugasnya
“Kalau semua jalan sendiri-sendiri, transportasi nasional bisa macet total,” kata Djoko.
Ia menambahkan, masih banyak aspek fundamental yang perlu dibenahi sebelum kebijakan Zero ODOL dapat berjalan efektif. Antara lain peningkatan kesejahteraan sopir, penetapan upah standar, serta penghapusan pungutan liar di jembatan timbang.
“Pemerintah harus menyelesaikan masalah pungli baik oleh oknum berseragam maupun tidak. Belum lagi soal upah sopir yang sampai sekarang belum ada standarnya,” ujarnya.
Djoko juga menyoroti perlunya revisi regulasi lalu lintas agar tanggung jawab antara sopir dan perusahaan angkutan lebih jelas. Menurutnya, pelaku usaha logistik membutuhkan kepastian hukum dan tarif agar penerapan Zero ODOL tidak memberatkan pelaku usaha kecil di rantai pasok.
Baca Juga: Biaya Logistik Terancam Naik, Industri Minta Penerapan Zero ODOL Lebih Realistis
Dari sisi hukum, MTI menilai surat edaran (SE) gubernur bukan instrumen yang memiliki kekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi.
Djoko menjelaskan, surat edaran bersifat administratif internal dan tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatur masyarakat atau pelaku usaha.
“Surat edaran itu bukan dasar hukum untuk memberikan sanksi. Kalau Gubernur ingin membuat aturan yang mengikat, harus melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah yang sesuai dengan hierarki hukum,” katanya.
Karena itu, rencana pelarangan truk ODOL di Jawa Barat melalui surat edaran mulai Januari 2026 dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan arus distribusi logistik.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan sembilan langkah strategis menuju implementasi Zero ODOL 2027.
Langkah-langkah tersebut mencakup integrasi sistem pendataan angkutan barang, pengawasan kendaraan, penguatan jalan logistik, serta pemberian insentif bagi industri transportasi yang memenuhi standar. Pemerintah juga tengah mengkaji dampak kebijakan terhadap biaya logistik nasional dan inflasi.
Baca Juga: Pengusaha Minta Operasional Truk Jangan Selalu Dibatasi Tiap Libur Keagamaan
Selanjutnya: Tiket Kereta Api Perjalanan Desember 2025 Sudah Bisa Dipesan Hari Ini, Jumat (7/11)
Menarik Dibaca: Hasil Korea Masters 2025, Dua Wakil Indonesia Maju ke Babak Semifinal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













