kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   -13.000   -0,68%
  • USD/IDR 16.195   57,00   0,35%
  • IDX 7.898   -32,88   -0,41%
  • KOMPAS100 1.110   -7,94   -0,71%
  • LQ45 821   -5,85   -0,71%
  • ISSI 266   -0,63   -0,24%
  • IDX30 424   -3,04   -0,71%
  • IDXHIDIV20 487   -3,38   -0,69%
  • IDX80 123   -1,10   -0,89%
  • IDXV30 126   -1,56   -1,22%
  • IDXQ30 137   -1,32   -0,96%

Nasib Hilirisasi Minerba di Tengah Target Swasembada Energi


Minggu, 17 Agustus 2025 / 17:52 WIB
Nasib Hilirisasi Minerba di Tengah Target Swasembada Energi
ILUSTRASI. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam pidatonya pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-1 Tahun Sidang 2025/2026 dan Penyampaian RAPBN Tahun Anggaran 2026, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, salah satunya adalah melalui perluasan hilirisasi.

"Hilirisasi akan kita perluas, lapangan kerja mudah kita ciptakan, nilai tambah kita maksimalkan," ungkap Prabowo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (15/8/2025).

Pada masa kepemimpinanya, sektor hilirisasi, termasuk hilirisasi mineral dan batubara (minerba), memang mendapatkan cukup sorotan. Terbukti dari dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional pada 3 Januari 2025, melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 1 tahun 2025.

Prabowo menunjuk sejumlah menteri untuk mengisi Satgas ini. Namun untuk jabatan Ketua, dipegang langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

Dalam perkembangannya, Bahlil menyerahkan 18 proyek hilirisasi yang telah melalui proses studi awal atau pra feasibility study kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara.

"Agenda hilirisasi sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam keputusan presiden, kami ada sekitar 18 proyek yang sudah siap pra FS. Dengan total investasi sebesar US$ 38,63 miliar, atau setara dengan Rp 618,3 triliun. Ini di luar ekosistem baterai mobil (EV)," ungkap Bahlil dalam agenda penyerahan, di Kantor ESDM, Selasa (22/07/2025).

Baca Juga: Kelanjutan Hilirisasi Minerba, DPR: Percepatan Tata Kelola & Penerapan Energi Bersih

Bahlil menambahkan, proyek-proyek tersebut, telah melewati kajian panjang, diskusi, dan mendalam antar tim ahli. Yang juga melibatkan akademisi, pemangku kepentingan, pengusaha, ahli teknologi dan tim satgas hilirisasi sendiri.

Dari total 18 proyek yang diserahkan, 12 di antaranya masuk dalam sektor energi. Lebih khusus, 8 di antaranya masuk dalam sub sektor minerba, yang memiliki total invesitasi sebesar Rp 322,44 triliun.

1. Industri Smelter Aluminium (Bauksit)
2. Industri DME (batu bara) di 6 lokasi
3. Industri Aspal (Aspal Buton)
4. Industri Mangan Sulfat (Mangan)
5. Industri Stainless Steel Slab (Nikel)
6. Industri Copper Rod, Wire & Tube (Katoda Tembaga)
7. Industri Besi Baja (Pasir Besi)
8. Industri Chemical Grade Alumina (Bauksit)

Terkait target hilirisasi minerba ini, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan/pemurnian dalam negeri (hilirisasi) sudah dilaksanakan dan berjalan baik.

Hendra menambahkan, perkembangan ppelaksanaan kewajiban hilirisasi terlihat dari telah menghasilkannya produk hasil pengolahan/pemurnian berupa barang setengah jadi yang selanjutkan menjadi bahan baku bagi industri hilir.

"Menurut kami pada penambang, sudah dilaksanakan dan berjalan baik. Terlihat pelaksanaan kewajiban tersebut menghasilkan produk hasil pengolahan berupa intermediate product," ungkap Hendra saat dihubungi, Sabtu (16/08/2025).

Meski begitu, Hendra bilang, keberhasilan hilirisasi sektor minerba juga harus sejalan dengan kesiapan penyerapan di industri hilir.

Baca Juga: Penambahan Golongan Prioritas dalam UU Minerba Buka Potensi Perlambatan Hilirisasi

"Pengembangan industri hilir yang akan menyerap produk hasil penghiliran dari perusahaan tambang tentu merupakan tanggung jawab bersama yang terus sedang dikembangkan," tambahnya.

Hilirisasi Batubara untuk Menekan Impor LPG

Adapun jika melihat target hilirisasi minerba yang diberakan Bahlil kepada Danantara, sektor mineral yang dibidik paling banyak memiliki proyek hilirisasi adalah batubara, diikuti nikel, bauksit dan tembaga.

Target hilirisasi batubara aslinya sudah lama digaungkan, bahkan sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Presiden Jokowi bahkan sempat melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek hilirisasi batubara menjadi DME sebagai substitusi LPG, yang terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) pada tahun 2022 lalu.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani mengatakan target hilirisasi batubara tetap berjalan namun dengan beberapa catatan.

"Ada kendala keekonomisan, ini masih menjadi tantangan utama. pengembangan produk hilir lain seperti batubara upgrade atau bahan bakar alternatif terus dikaji, namun, keekonomisan proyek hilirisasi sekali lagi masih menjadi kendala besar," ungkap dia.

Baca Juga: Smelter Aluminium Inalum, Masuk dalam 18 Proyek Hilirisasi yang Diajukan Bahlil

Kalau dilihat, nilai keekonomisan ini juga lah yang membuat proyek DME Indonesia, yang diwakili Bukit Asam (PTBA), dan PT Pertamina, dengan perusahaan energi asal Amerika, Air Products, batal dilakukan.

"Dalam beberapa kasus biaya produksi hilir bahkan bisa melebihi biaya pembuatan tambang itu sendiri," ungkap Gita.

Selain itu, memasuki semester kedua 2025, industri batubara Indonesia menghadapi tantangan akibat menurunnya permintaan global. Ini juga berakibat pada penurunan harga batubara yang berdampak pada setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba.

Sebagai gambaran, PNBP minerba sepanjang semester I-2025 mencapai Rp 74,2 triliun dari total target PNBP minerba sepanjang tahun ini senilai Rp 124,7 trilun.

Dalam catatan Kontan sebelumnya, Kementerian ESDM bahkan berjanji akan memberikan fasilitas berupa kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk pelaku usaha yang ikut dalam pengembangan proyek batubara menjadi DME ini.

Direktur Jenderal Minerba Tri Winarno mengatakan pemberian status KEK, akan dilakukan setelah produsen atau perusahaan batubara berkomitmen untuk menggarap DME mereka sendiri.

"Itu (KEK) kan setelahnya ya, setelah jadi (DME), itu jadi Kawasan Ekonomi Khusus, artinya nanti yang kita finalkan ini dulu (proyek DME), step by step dulu lah," ungkap Tri saat ditemui di Jakarta, Kamis (31/07/2025).

Baca Juga: Pemerintah Dorong Hilirisasi Batubara untuk Gantikan Impor Jumbo LPG Rp 80 Triliun

Tri menambahkan, pemerintah akan menambah insentif bagi perusahaan batubara yang menggarap DME mereka sendiri. Meski begitu, ia belum bisa menjelaskan detail mengenai insentif yang akan diberikan.

Nikel dan Target Hilirisasi di Tengah Tutupnya Smelter China

Berbeda lagi dengan nikel, setelah pemerintah Indonesia mulai memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah pada 1 Januari 2020. Mulai bermunculan industri smelter atau pemurnian nikel, yang berkosentrasi di Pulau Sulawesi, misalnya Kawasan Industri Morowali (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Sayangnya, dalam catatan Kontan beberapa smelter yang mayoritas merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) dari China memutuskan untuk mengurangi produksi mereka, ditengah tren penurunan permintaan dari China dan anjloknya harga.

Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) penutupan smelter PMA China jelas menjadi tekanan nyata bagi hilirisasi nikel di Indonesia dalam jangka pendek—baik dari sisi kapasitas operasional maupun kepercayaan investor.

"Namun, pemerintah dan APNI tetap optimis bahwa komitmen untuk memperkuat hilirisasi akan bertahan. Strategi mitigasi seperti mencari pasar alternatif, memperkuat off-taker domestik," ungkap Anggota dewan Penasehat Pertambangan APNI, Djoko Widajatno.

Menurut dia, memberikan insentif adalah kunci penyeimbang agar hilirisasi tetap berjalan, meski menghadapi berbagai tantangan global dan fiskal.
Sebagai gambaran,  terdapat dua jenis teknologi pemurnian nikel. Yang pertama adalah teknologi, Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yaitu pengolahan bijih nikel saprolit untuk menghasilkan feronikel atau Nickel Pig Iron (NPI). 

NPI ini adalah produk turunan nikel yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat dan baja paduan nikel lainnya.

Dan teknologi lainnya adalah High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik.

Baca Juga: Airlangga: Hilirisasi Berpotensi Dongkrak Ekspor RI hingga US$ 850 Miliar pada 2040

Sayangnya jumlah smelter RKEF lebih banyak dari HPAL saat ini di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, hingga akhir tahun 2024, terdapat 188 pelaku usaha yang tengah melakukan produksi dan konstruksi smelter nikel di Indonesia. Dengan 144 di antaranya smelter RKEF dan sisanya adalah smelter HPAL.

"Memang harga nikel yang melemah kemudian pelemahan permintaan stainless China, berkaibat pada penutupan sebagian lini RKEF membuat hilirisasi perlu reposisi," kata Djoko.

Dari sisi mid-steram, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI)  pabrik-pabrik smelter dan atau refinery nikel yang sudah terbangun dan beroperasi saat harus dijaga, dibantu dan didukung agar supaya biaya produksi yang keluar tetap kompetitif, berdaya saing terhadap harga nikel dunia saat ini serta dapat tetap beroperasi secara normal.

"Program hilirisasi nikel sejauh ini telah melahirkan pusat-pusat ekonomi baru, dan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian, pendapatan negara, kesempatan kerja, ahli teknologi dan lainnya," ungkap Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah.

Meski begitu, ia mengakui bahwa pengurangan produksi yang berakibat terhadap penghentian dan terhentinya smelter dan refinery nikel dapak berdampat luas terhadap kelanjutan hilirisasi nikel di Indonesia.

Untuk mengatasi hal ini, Arief bilang, FINI mengusulkan moratorium atau pembatasan terhadap pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel yang baru.

"Menurut kami, ddapat menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang bisa diambil untuk menjaga keseimbangan suplai dan permintaan serta men-stabilkan harga pada masa yang akan datang," tambahnya.

Kendala-kendala dalam Hilirisasi Minerba yang Terus Berulang

Di tengah target ambisius untuk dapat mengelola sumber daya mineral sendiri, Indonesia menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar masih terbentur pada sektor pembiayaan.

Baca Juga: Menteri Rosan Ungkap Investasi Hilirisasi Semester I Tembus Rp 280 Triliun

Bisman menyoroti, sekalipun Bahlil sudah menyodorkan 12 proyek hilirisasi minerba kepada Danantara, masih ada kemungkinan, proyek-proyek ini tidak dipilih untuk didanai.

"Industri hilirisasi tambang dan energi membutuhkan modal dan investasi besar. Tanpa investor dari luar akan sangat berat, apalagi jika murni bergantung pada dana internal Danantara, itu risiko besar," ungkap Bisman.

Ia menambahkan, jika memang Indonesia serius mengembangkan hilirisasi, perlu ada kepastian hukum agar investor bisa melirik potensi tersebut.

"Untuk itu hal penting agar sejalan harus mampu mendatangkan investasi dari luar. Salah satu caranya dengan memberikan jaminan kepastian hukum yang baik terhadap investasi yang masuk," tambahnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memberi catatan bahwa target hilirisasi Indonesia masih berada di pertengahan, ini terlihat dari masih banyaknya produk olahan primer yang diekspor kembali ke negara lain.

"Hilirisasi masih berupa produk olahan primer jadi belum finished product atau barang jadi, sehingga jalan masih panjang untuk mendorong industrialisasi bernilai tambah," ungkap dia.

Selain kesiapan industri hilir atau manufaktur dalam negeri yang belum matang, penyerapan teknologi dan pengetahuan terkait hilirisasi dirasa Bhima belum maksimal diterapkan di Indonesia.

"Selain itu perubahan teknologi yang begitu cepat, belum mampu direspon. Hilirisasi juga perlu selaras dengan kesiapan SDM terutama di daerah sekitar smelter," tuturnya.

Bhima juga menegaskan, bahwa proses penambangan dan hilirisasinya pasti akan berdampak pada lingkungan, namun bisa diminimalisasi dan dimitigasi dengan baik.

"Hal penting yang harus menjadi perhatian adalah menjaga daya dukung lingkungan, pengendalian produksi, komitmen terhadap AMDAL dan konsisten melakukan pengawasan dan penegakan hukum," tutupnya. 

Baca Juga: UU Minerba Baru Dinilai Berpotensi Hambat Target Hilirisasi Pemerintah, Ini Alasannya

Selanjutnya: Raih ATH Baru, Harga Bitcoin Berpotensi Capai US$ 250.000 dalam Jangka Pendek

Menarik Dibaca: Cara Buka Blokir Facebook dengan Bantuan Pusat Dukungan,Cepat & Mudah Dilakukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mengelola Tim Penjualan Multigenerasi (Boomers to Gen Z) Procurement Strategies for Competitive Advantage (PSCA)

[X]
×