kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.306.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Nasib smelter baru Freeport antara pemangkasan kapasitas dan kerja sama pihak ketiga


Kamis, 28 Januari 2021 / 10:01 WIB
Nasib smelter baru Freeport antara pemangkasan kapasitas dan kerja sama pihak ketiga
ILUSTRASI. Perusahaan pengelola bahan baku konsentrat PT Freeport Indonesia


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nasib proyek smelter baru PT Freeport Indonesia (PTFI) masih berkutat pada dua opsi. Pengerjaan proyek di Gresik, Jawa Timur terus berjalan seiring penjajakan kerja sama dengan pihak ketiga.

President and Chief Executive Officer Freport-Mc.Moran Richard C. Adkerson menyampaikan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, PTFI bersama pemegang saham mayoritasnya yakni MIND ID telah berdiskusi dengan pemerintah membahas alternatif dalam pembangunan smelter tembaga baru sesuai kewajiban IUPK PTFI pada Desember 2018.

Merujuk laporan Fourth-Quarter and Year Ended 2020 Freeport-McMoran (FCX), opsi pertama pembangunan smelter baru PTFI ialah dengan meningkatkan kapasitas pengolahan konsentrat di smelter eksisting, PT Smelting. Penambahan kapasitas rencananya dilakukan sekitar 30% atau 300.000 metrik ton konsentrat per tahun.

Sebagai informasi, PTFI memiliki saham sebanyak 25% di PT Smelting. Sedangkan mayoritas saham dari smelter yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur itu dimiliki oleh Mitsubishi Materials Corporation (MMC). Adapun, ekspansi 30% di PT Smelting ini ditaksir menelan biaya sebesar US$ 250 juta.

Baca Juga: Begini kinerja operasional Freeport Indonesia di tahun 2020

"Selama Kuartal Keempat (2020) kami melanjutkan diskusi dengan pemilik mayoritas PT Smelting untuk perluasan 30% untuk menambah kapasitas peleburan di Indonesia dan sebagian untuk memenuhi komitmen kami kepada pemerintah. Diskusi komersial dan pembiayaan sedang dikembangkan," ungkap Adkerson dalam conference call yang digelar Selasa (26/1) waktu setempat.

Dengan perluasan kapasitas PT Smelting, maka PTFI akan mengurangi kapasitas proyek smelter barunya dari 2 juta metrik ton konsentrat per tahun, menjadi 1,7 juta metrik ton. Dengan begitu, investasi untuk proyek smelter baru yang sebelumnya ditaksir mencapai US$ 3 miliar bisa dipangkas.

Secara terpisah, sambung Adkerson, atas permintaan pemerintah Indonesia PTFI juga sedang berdiskusi dengan pihak ketiga terkait potensi pembangunan smelter baru yang berlokasi di luar Jawa Timur. Jika disepakati, ini akan menggantikan proyek smelter baru yang sedang dikerjakan PTFI.

Nantinya, pihak ketiga inilah yang akan memimpin pembangunan smelter dan mengatur pembiayaan. "PTFI akan berkomitmen menjadi pemasok konsentrat untuk proyek tersebut. Para mitra, serta pemerintah akan bekerja secepatnya untuk mencapai keputusan," ungkap Adkerson.

Saat ini kerja sama tersebut masih dalam tahap diskusi, antara lain menegosiasikan tarif Treatment Charge and Refining Charge (TCRC). "Ada peluang bagi kami untuk berakhir dalam situasi yang lebih menguntungkan bagi PTFI jika berhasil dalam negosiasi ini," sambungnya.

Adkerson melanjutkan, upaya ini juga mendapat tanggapan positif dari pemerintah Indonesia seiring dengan pengembangan industri di dalam negeri. Sebab, hal ini akan terkait dengan hilirisasi nikel dan rencana pengembangan industri baterai di Indonesia.

"Jadi secara strategis pemerintah melihat itu positif, bisa juga positif bagi PTFI. Itulah dasar kesepakatan kami, dan sekarang kami sedang dalam proses menegosiasikan persyaratan kesepakatan itu," terang Adkerson.

Baca Juga: Produksi dan penjualan Freeport Indonesia di 2020: Tembaga naik, emas malah turun

Sebagaimana yang diberitakan sebelumnya, PTFI sedang membahas kerjasama dengan Tsingshan Steel China untuk membangun smelter tembaga baru di Weda Bay, Halmahera. Wilayah tersebut merupakan kawasan smelter nikel yang terintegrasi.

Lebih lanjut, Executive Vice President and Chief Financial Officer Freeport-Mc.Moran Kathleen L. Quirk menegaskan bahwa opsi-opsi terkait pembangunan smelter baru PTFI ini dijalankan secara pararel. Dengan begitu, Freeport bisa membandingkan keekonomian dari masing-masing opsi tersebut.

Kathleen menyampaikan bahwa model kerja sama pihak ketiga pernah sukses dilakukan saat Freeport membangun PT Smelting. "Pihak ketiga memungkinkan PTFI benar-benar fokus pada pengembangan dan hulu tambang yang merupakan kekuatan utama PTFI," ungkapnya.

Dia pun berharap bisa segera mendapatkan kepastian opsi dan persetujuan dari pemerintah dalam waktu yang tak terlalu lama. "Kami perlu mendapatkan kejelasan selama beberapa bulan ke depan untuk membuat keputusan tentang jalan mana yang harus diikuti," kata Kathleen.

Freeport memang tengah berjibaku dengan waktu. Pasalnya, sesuai dengan kewajiban di dalam IUPK, smelter baru harus selesai pada Desember 2023. Namun, pembangunan smelter yang sedang berjalan terhambat pandemi Covid-19.

Menurut Adkerson, proyek smelter baru di Gresik mengalami gangguan pada jadwal, pembatasan akses ke lokasi proyek dan hambatan perjalanan kontraktor internasional. PTFI pun masih terus berdiskusi dengan pemerintah mengenai penangguhan jadwal penyelesaian proyek smelter tersebut.

"Pada awal 2020 kami meminta penundaan jadwal waktu yang telah disepakati untuk penyelesaian pembangunan smelter baru di Gresik Jawa Timur. Kami belum dapat melanjutkan pekerjaan di sana karena masalah Covid-19 untuk tenaga kerja lokal dan kontrak internasional," sebutnya.

Baca Juga: Freeport sees rising copper demand boosting 2021 results

Terkait dengan pembangunan smelter tembaga ini, Adkerson juga kembali mengingatkan bahwa lebih dari 70% beban negatif keekonomian bisa ditanggung oleh pemerintah Indonesia seiring dengan kepemilikan mayoritas saham di PTFI.

Dalam pemberitaan Kontan.co.id sebelumnya, penyelesaian proyek smelter PTFI memang masih jauh dari target. Dari rencana progres 10,5%, realisasi pengerjaan di tahun lalu hanya mencapai 5,86%.

Serapan biaya yang sudah dikeluarkan untuk proyek smelter tembaga yang berlokasi di JIIPE, Gresik, Jawa Timur itu sebesar US$ 159,92 juta.

Selain proyek smelter tembaga, PTFI juga membangun smelter pengolahan logam mulia atau precious metal refinery (PMR).

Hingga tahun lalu, pembangunan proyek ini pun masih jauh dari target. Capaian dari target 14,29% tetapi terealisasinya baru 9,79% dengan serapan investasi hampir US$ 20 juta.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengejar penyelesaian target sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 alias UU Minerba. Dalam beleid tersebut, smelter harus selesai 3 tahun setelah UU itu diundangkan.

"Jadi semua harus selesai pada tahun 2023," tegas Ridwan dalam paparan realisasi kinerja Minerba 2020 dan rencana 2021 secara daring, Jumat (15/1) lalu.

Baca Juga: Begini kata Dirjen Minerba soal proyek smelter Freeport yang masih jauh dari target

Namun, pemerintah pun tak menutup kemungkinan untuk memberikan kelonggaran. Ridwan bilang, jika dalam perkembangannya ada kendala yang menghalangi proyek tersebut, maka pihaknya bakal mempertimbangkan penyesuaian target operasional smelter.

"Jika ada hal-hal perkembangan, tentunya kita tidak menutup mata. Artinya target kami bukan menghukum, bukan untuk menggagalkan, target kami adalah membangun smelter. Kami fokus pada waktu yang sudah ditentukan, namun jika ada perkembangan kita tentunya tidak menutup mata," terang Ridwan.

Lalu, mengenai peluang kerja sama PTFI dengan Tsingshan Stell China, Ridwan menyampaikan bahwa peluang itu masih terbuka. Sayangnya, dia tak membeberkan sudah sejauh mana proses pembahasan kerja sama tersebut.

"Rencana kerja sama PTFI dengan perusahaan lain memang dibuka, dalam perjanjian. Ada dua anak kalimat penting yang kami gunakan sebagai acuan. Pertama, PTFI wajib membangun smelter baru. Kedua, boleh membangun sendiri, boleh bekerjasama," pungkas Ridwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×