Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 membuat permintaan akan produk makanan kaleng, khususnya sarden mengalami peningkatan seiring kebutuhan pemberian Bantuan Sosial (Bansos) pangan ke masyarakat. Hal ini turut berefek kepada industri kaleng dalam negeri.
Halim Parta Wijaya, Ketua Umum Asosiasi Produsen Kemasan Kaleng Indonesia (APPKI) mengatakan bahwa saat ini kapasitas produksi kaleng sarden mengalami peningkatan yang cukup signifikan. "Biasanya (utilisasi) pabrik kaleng sarden hanya sepertiga dari kapasitas, sekarang sudah terisi semua," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (7/8).
Dibandingkan periode normal, kenaikan permintaan kaleng sarden saat ini meningkat beberapa kali lipat. Menurut Halim, dari kapasitas produksi kaleng sarden nasional yang mencapai 50 juta pieces per tahun biasanya utilisasi hanya sekitar kurang dari 15 juta pieces saja.
Baca Juga: Latinusa (NIKL) mencetak laba bersih US$ 2,68 juta di 2019
Sedangkan saat ini, lantaran permintaan yang banyak maka kapasitas produksi sudah mencapai titik maksimal. Namun demikian, Halim menilai kenaikan permintaan ini kemungkinan tidak akan bertahan lama.
"Menurut saya tidak akan lama, kemungkinan permintaan masih naik sampai dengan Desember nanti," sebutnya. Setelah itu utilisasi pabrikan kaleng sarden diperkirakan akan kembali seperti semula saat sebelum pandemi.
Bisnis kaleng secara umum sebenarnya masih tertekan, kata Halim, kaleng sarden diantara banyak produk kaleng punya kontribusi yang terbilang kecil sekitar 5%-10% saja. "Yang paling banyak diisi seperti kaleng biskuit, susu ataupun produk aerosol," ungkapnya.
Mengenai penurunannya Halim belum bisa bilang. Selain itu, industri kaleng juga mendapat tantangan dari ketersediaan bahan baku dan regulasi yang dinilai masih belum efektif, terkadang juga mempersulit industri ini.
Baca Juga: Wings Group meluncurkan disinfektan WIZ24 guna melengkapi lini produk anti bakteri
Seperti yang diketahui, bahan baku kaleng tinplate dengan kebutuhan nasional berkisar 250.000 ton per tahun, sementara produsen tinplate di Indonesia hanya satu, PT Pelat Timah Nusantara Tbk (Latinusa) dengan kapasitas 150.000 ton per tahun. Artinya bahan baku lokal baru menyerap 60% kebutuhan nasional, sisanya harus impor.
Selain itu untuk mengimpor tinplate, industri kaleng juga harus mengurus perijinan yang cukup menyita waktu. "Kami paham ijin ini untuk memproteksi industri dalam negeri, tapi sebelum impor tinplate juga telah dikenakan bea masuk, jadi sebaiknya ijin tidak diperlukan lagi. Sebab kenyataannya produksi tinplate lokal memang belum mampu memenuhi kebutuhan (kaleng) di dalam negeri sendiri," terang Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News