Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) melihat, kondisi pandemi Covid-19 tidak berdampak terlalu signifikan terhadap bisnis komoditas timah Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini lebih dari 90% timah masih mengandalkan pasar ekspor, lantaran pasar lokal belum banyak yang menyerap.
Sekretaris Jenderal AETI Jabin Sufianto mengungkapkan, alasan mengapa kondisi covid-19 tidak berdampak signifikan terhadap timah ialah karena Bangka Belitung sebagai daerah penghasil timah utama Indonesia masih masuk ke zona hijau penyebaran covid-19.
"Bangka Belitung produksi lebih dari 70%-80% dari total produksi (timah) Indonesia. Sisanya dari Kepulauan Riau," kata Jabin kepada Kontan.co.id, Rabu (15/7).
Baca Juga: Harga timah menembus level tertinggi 5 bulan gara-gara optimisme permintaan China
Sementara itu, penjualan timah Indonesia ke pasar internasional masih terjaga. Menurutnya, permintaan (demand) di China masih sekitar 70% dalam dua bulan terakhir, dan terus membaik.
Selain China, ekspor timah Indonesia menyasar sejumlah pasar di negara seperti Jepang, Singapura, Taiwan, Eropa, India, juga Amerika Serikat. Jabin memang belum memberikan proyeksi detail mengenai volume ekspor timah di tahun pandemi ini. Yang jelas, volume ekspor timah Indonesia dalam kondisi normal berada di level 60.000 ton - 70.000 ton setiap tahunnya.
Di sisi lain, Jabin tak menampik bahwa banyak smelter timah yang tutup. Menurutnya, tutupnya smelter-smelter timah swasta terjadi karena tidak bisa memenuhi syarat dari pemerintah.
Kata dia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan syarat harus adanya tanda tangan Competent Person Indonesia (CPI) di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB). Syarat itu juga menyangkut verifikasi data cadangan yang ada di RKAB perusahaan.
Baca Juga: Prospek lebih cerah, timah akan catatkan kinerja yang lebih baik pada semester kedua
Menurut Jabin, saat ini hanya tersisa 7 smelter timah yang masih bertahan. Kendati begitu, Jabin mengatakan bahwa jumlah itu sudah lebih dari cukup, lantaran kapasitas pemurnian 7 smelter itu mampu memenuhi kebutuhan pengolahan timah.
"Sudah lebih dari cukup untuk mengolah semua produksi tambang timah. Malah masih ada kapasitas terpasang yang lebih dari 7 smelter yang sedang operasi," sebut Jabin.
Dia bilang, pengembangan timah di Indonesia sejatinya masih memiliki prospek yang cerah. Namun, hal itu harus didukung dengan adanya penemuan dan pembuktian cadangan baru.
"Pemerintah bisa mendukung dengan menyesuaikan zona tata ruang untuk lebih sesuai dengan keberadaan cadangan timah," imbuh Jabin.
Baca Juga: Permintaan naik, harga tembaga paling moncer di semester I
Adapun, merujuk data dari Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, produksi timah dalam logam di Indonesia memang berfluktuasi dalam lima tahun terakhir. Namun, volumenya terjaga di level 70.000 ton - 80.000 ton.
Hanya pada tahun 2016, produksi logam timah hanya mencapai 62.877 ton. Selebihnya, selalu di atas 70.000 ton. Pada tahun 2017 misalnya, produksi logam timah tercatat sebesar 78.070 ton, dan meroket setahun kemudian menjadi 83.015 ton.
Lalu, turun menjadi 76.100 ton pada tahun 2019, dan pada tahun ini produksi logam timah ditargetkan di angka 70.000 ton. Hingga 6 Maret 2020, realisasi produksi logam timah baru mencapai 6.059 ton atau 9,3% dari target.
Baca Juga: Harga komoditas kurang atraktif sepekan ini, simak rekomendasi Mirae Asset Sekuritas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News