Reporter: Fahriyadi, Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pemerintah belum juga memutuskan kebijakan yang akan diambil terkait dengan pengenaan bea keluar (BK) atau pajak ekspor komoditas minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO).
Saat ini, pemerintah masih mengkaji dua opsi yang bakal ditetapkan. Pertama, penurunan ambang batas harga pengenaan BK CPO dari US$ 750 per ton menjadi US$ 500-US$ 600 per ton.
Dengan demikian pengenaan BK sebesar 7,5% tak perlu lagi menunggu harga CPO US$ 750 dan bisa dikenakan pada harga CPO sedang rendah seperti saat ini.
Kedua, pengenaan pungutan US$ 50 per ton untuk ekspor CPO pada harga dibawah US$ 750 per ton. Opsi ini dikenal dengan CPO Supporting Fund (CSF). Pemerintah berjanji akan memanfaatkan dana CSF ini untuk pengembangan industri CPO.
Namun, petani dan pengusaha sawit rupanya sepakat bahwa dua opsi ini masih perlu dihitung ulang agar tak membebani industri ini. Asmar Arsyad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai, dua opsi pengenaan pajak ekspor CPO ini merugikan petani karena berpotensi menggerus harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani.
Ia menggambarkan, dengan dua opsi itu, harga TBS di tingkat petani berpotensi turun sekitar 20% menjadi sekitar Rp 900 per kg. Sebab, pengusaha tidak mau menanggung kerugian, sehingga membebankan risiko kerugian itu kepada petani.
Sebagai perbandingan, harga TBS di tingkat pabrik saat ini Rp 1.680 per kg. Adapun harga TBS di tingkat petani sekitar Rp 1.100-Rp 1.400 per kg.
Untuk itu, petani mengusulkan agar opsi pungutan untuk CSF diterapkan namun dengan angka yang lebih rendah, yakni sebesar US$ 25 per ton. Usulan ini didasarkan pada kekhawatiran para petani sawit akan membayar dua kali pungutan bila harga CPO naik di atas US$ 750 per ton. "Selain membayar pungutan, kami juga harus membayar BK bila harga ekspor CPO di atas US$ 750 per ton," keluh Asmar kepada KONTAN, Selasa (31/3).
Apkasindo mengaku telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Perdagangan (Kemdag), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Kementerian Perindustrian (Kemperin) untuk menolak dua opsi pajak ekspor CPO.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sepakat dengan usulan petani ini. Menurutnya, pemerintah harus menghitung ulang angka pemberlakuan pajak ekspor CPO ini.
Pengusaha sawit ingin agar nilai yang dibebankan kepada pengusaha lebih rendah dari angka yang berlaku saat ini, yaitu 7,5% jika harga CPO di atas US$ 750 per ton. "Apapun bentuknya yang diputuskan pemerintah, baik BK atau pungutan, hendaknya tidak menjadi beban bagi industri sawit," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News